Oleh Ustadz Irfan S Awwas
Marginalisasi agama mayoritas, kini dilakukan secara konstitusional, sistimatis dan terbuka. Negara Indonesia yang meraih kemerdekaannya atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945, bagaikan taman yang indah tapi tanpa pagar pengaman. Sehingga siapapun dan apapun ideologinya, merasa mendapat momentum kebebasan untuk menista agama.
Upaya memisahkan agama dari pemerintahan, melalui birokrasi kekuasaan, sudah lama berlangsung. Tapi, di bawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dilantik pada 20 Oktober 2014, sebagai Presiden dan Wapres, dianggap momentum yang tepat untuk mendiskreditkan eksistensi agama.
Dalam tulisan ini, penulis akan mengungkap fakta kebencian pada Islam yang ditunjukkan oknum pejabat eksekutif maupun legislatif.
Pada suatu kesempatan Plt Gubernur DKI, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok mengatakan, dalam bernegara kita terikat konstitusi, dan bukan kitab suci.
“Kitab suci merupakan sesuatu yang sangat penting. Namun dalam kehidupan bernegara, konstitusi harus lebih dikedepankan. Jika kehidupan bernegara harus mengedepankan kitab suci dibanding konstitusi, maka sulit untuk menyatukan satu sama lain,” ucapnya saat menjadi pembicara dalam acara Kanisius Education Fair di SMA Kolese Kanisius, Cikini, Jakarta Pusat.
Pernyataan ini, hanya retorika agitatif yang tidak memiliki landasan konstitusional maupun sosial. Dimanakah dalam konstitusi Indonesia tercantum perkataan demikian? Barangkali dia ingin menyudutkan Islam agar tidak berperan optimal dalam membangun Negara. Memosisikan kitab suci agama sebagai sumber disharmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan pola berfikir komunis. Baik komunis China maupun Rusia, sama saja.
Selain melalui birokrasi kekuasaan, partai politik juga dijadikan alat yang efektif untuk menista agama. Politisi yang menyusup ke PDIP, Jalaludin Rakhmat mengatakan parlemen bukanlah pondok pesantren. Karena itu, selayaknya agama tidak diikut sertakan di dalam parlemen dan atau dalam politik.
“Parlemen kok seperti pesantren,” ucapnya saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Revolusi Mental dengan tema “Dari Ali Hingga Jokowi” yang dilaksanakan di Auditorium Nurcholish Madjid Paramadina, Rabu 15 Oktober 2014.
Diskusi yang dihadiri para dosen, mahasiswa dan perwakilan ormas itu, Jalal juga mengatakan: “Di jaman sahabat Nabi, Ali ra tidak menggunakan agama dalam memimpin dan mempertahankan kekuasaannya.”
Parlemen seperti pesantren, tentu lebih positif daripada parlemen seperti bioskop. Namun, sebagai tokoh Syiah, Jalaludin Rakhmat sengaja memulai langkah politiknya dengan doktrin taqiyah, lain di hati lain di mulut. Jika Jalal benar-benar menganut politik pemisahan antara negara dan agama, mengapa tidak mengeritik negara Syiah Iran? Dalam konstitusi Republik Islam Iran dinyatakan, negara berlandaskan Syiah Itsna Asy’ariyah. Apakah Syiah bukan agama?
Masa kini, atmosfir politik Indonesia seakan didominasi opini komunitas anti agama, yang menihilkan peran agama dalam membangun peradaban manusia. Tidak hanya itu, fakta mayoritas muslim di negeri ini pun ingin dihilangkan dari opini masyarakat.
Komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Pelanggaran HAM, Natalius Pigai dari Papua ikut meramaikan politik diskriminasi.
“Indonesia adalah bangsa multiminoritas, jangan pakai kata mayoritas, salah itu. Hilangkan kata mayoritas. Di Jabar orang Sunda dan agama Islam yang mayoritas. Di Bali agama Hindu yang mayoritas, di NTT agama Kristen yang mayoritas,” katanya dalam acara Indonesia ILC TVOne, 14 Oktober 2014, bertema ‘FPI Menyerang, Ahok Melawan.’
Dalam konteks Negara Indonesia, jumlah penduduk beragama Islam memang mayoritas. Itu fakta, bukan multi minoritas.
Sebagai pengikut demokrasi yang menuhankan suara mayoritas, Natalius mestinya paham. Di negara demokrasi manapun, ketika mengambil keputusan untuk kepentingan publik, belum pernah menghargai suara minoritas.
Lalu, ketika dikaitkan dengan agama, mengapa tiba-tiba Natalius menjadi pengkhianat demokrasi, dengan meniadakan fakta mayoritas? Untuk kepentingan apa dan siapa menutupi kenyataan ini?
Melepas Agama
Sebagian politisi, Muslim maupun Non Muslim, mungkin saja menganggap agamanya seperti baju. Boleh dipakai atau dilepas menurut keperluan. Apabila menguntungkan jabatannya ia tampil mengenakan asesoris agama. Tapi bila diprediksi merugikan dunianya, agama pun disimpannya.
Seperti firman Allah Swt: “Jika mereka diajak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melaksanakan hukum-hukum Allah atas mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolaknya. Jika kebenaran menguntungkan mereka, mereka menerima keputusan Nabi dengan suka rela.” (Qs. An-Nur, 24:48-49).
Melepas agama, mengabaikan ajaran Kitab Suci demi meraih kekuasaan atau keuntungan duniawi, adalah mentalitas kaum munafik. Dalam kaitan ini, bijaksana kiranya mencerna nasehat Buya Hamka di bawah ini.
Ketika berceramah di hadapan tokoh umat beragama di Sekolah Tinggi Theologi Kristen, Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, Buya Hamka mengatakan:
“Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR bila pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Bila dia menjadi Menteri, selama sidang kabinet, agamanya musti di parkirnya bersama mobilnya di luar. Dan bila dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru di pakai kembali.
Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang tidak beragama. Sebab, memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan di rumah, atau diparkir di luar selama sidang kabinet.
Jika dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di sidang kabinet, dalam hidup pribadi atau bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan Negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen.”
Nasehat Buya Hamka terasa menyentuh hati dan pikiran. Ada orang yang kuat agamanya, shalih prilakunya ketika berada di rumah. Tapi, seolah-olah menjadi orang ‘tidak beragama’ saat di kantor, di ruang parlemen, di sidang kabinet. Lupa pada nilai-nilai agama yang diyakininya.
Akibatnya, betapa banyak pejabat negara, anggota parlemen, menteri yang kehilangan sikap kritisnya terhadap tuntutan dan aspirasi rakyat. Kehilangan sensitifasnya terhadap kejahatan korupsi, selingkuh, menindas rakyat dan lain-lain. Semua itu dilakukan tanpa merasa berdosa.
———————–
Materi ini dikutip dari Majalah Risalah Mujahidin Edisi 30/ Th III, Muharam 1436 H/ November 2014 M