Risalah Mujahidin – Pasca revolusi Syi’ah Iran, ambisi Khomeini menjadikan negara Iran sebagai basis utama membentuk poros ‘Diaspora Syi’ah Dunia’ mulai menuai hasilnya. Pada tahun 1981, dua tahum setelah revolusi yang dipimpinnya, Khomeini menengarai bahwa revolusi Iran telah berhasil memikat perhatian dunia, maka tidak lagi diperlukan propaganda-propaganda. Hal yang mendesak dilakukan adalah penguatan penetrasi ke dalam pemerintahan di seluruh dunia.
Perembesan budaya-budaya Syi’ah, program-program kemanusiaan, HAM dan demokratisasi melalui hubungan bilateral Iran terus-menerus harus digencarkan, sehingga masyarakat umum memberikan simpati dan dukungan kepada Iran dan kaum Syi’ah. Pada saatnya nanti, mereka sendirilah yang akan mengambil alih kekuasaan pemerintahan dengan dukungan rakyat, sehingga ‘generasi baru’ Syi’ah’ bisa mengontrol kekuasaan pemerintah di negara tersebut.
Pada 14 Oktober 1981, Khomeini berbicara melalui radio Teheran jelang prosesi eksekusi lebih dari 20 orang pembangkang di Ibu Kota Iran; bahwa Iran harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan citranya di luar negeri sehingga dapat mengekspor revolusi.
“Kami telah mendekati ‘nol propaganda’ di luar negeri. Kita harus melakukan kunjungan-kunjungan tidak resmi selain dari kunjungan bilateral yang dilakukan secara resmi oleh negara. Jika kita ingin ekspor revolusi ini berhasil, maka kita harus melakukan sesuatu sehingga masyarakat sendirilah yang akan mengambil alih pemerintahan di tangan mereka sendiri, sehingga mereka menerima kemunculan ‘orang-orang Syi’ah’ di panggung kekuasaan.”’ (Around The World -Khomeini Urges Export Of Iranian Revolution- NYTimes.com, UPI Published: October 15, 1981).
Ilusi Syi’ah
Fenomena terkini yang menguatkan wasiat Khomeini di atas juga disampaikan oleh Ali Reza Zakani, seorang pejabat utusan parlemen Teheran yang dikenal sebagai orang dekat Ayatollah Khamenei.
“Tiga ibukota negara Arab (Baghdad, Damaskus dan Beirut) telah berada di dalam genggaman Iran saat ini, dan menginduk kepada Revolusi Syi’ah Iran”, ujar Zakani. Dia mengharapkan ibukota Yaman Sanaa akan menjadi ibukota negara Arab keempat yang berproses mengikuti jejak revolusi Khomeini 1979, sebagaimana dilansir melalui https://www.middleeastmonitor.com/index.php, Sabtu, 27 September, 2014 11:19.
Kantor Berita Iran Rasa juga mengabarkan, Zakani dihadapan anggota perlemen Iran menyatakan, bahwa Iran kini memasuki fase ‘Jihad Akbar’. Pada fase ini diperlukan kebijakan politik luar negeri yang khusus dan pendekatan yang hati-hati, mengingat kemungkinan ekspansi ini dapat menimbulkan berbagai dampak politik yang rawan.
Zakani mengharapkan para pejabat Iran dapat memahami dengan baik apa yang terjadi di wilayah regional Arab, dan memainkan peran politik yang dapat mempengaruhi negara-negara kawasan Timur Tengah. Dia menekankan perlunya mendukung gerakan-gerakan yang dapat berfungsi sebagai agen perubahan pemerintahan sebagaimana terjadi pada revolusi Iran, guna mengakhiri penindasan dan membantu rakyat tertindas di negara-negara Timur Tengah.
Sebelum kemenangan revolusi Iran, di dalam negeri Iran sendiri terdapat dua arus fundamental yang menjadi poros Amerika, yaitu Islam Saudi (Wahhabi) dan sekularisme Turki. Tetapi setelah keberhasilan revolusi Iran, persamaan politik di dalam negeri dapat mengendalikan mereka untuk mendukung revolusi Iran.
“Hari ini kita berada di puncak kekuatan kita, kita dapat memaksakan kehendak kita dan kepentingan strategis Iran pada semua orang di wilayah penaklukan tersebut”, kata Zakani lagi.
Dia berusaha meyakinkan bahwa di kawasan Timur Tengah kini ada dua kutub utama. Pertama, berada di bawah kepemimpinan Amerika Serikat dan sekutu Arabnya. Dan yang kedua, berada di bawah kepemimpinan Iran dan negara-negara yang bergabung dengan proyek revolusi Iran.
Mengenai situasi politik yang kian memanas di Yaman, Zakani berilusi bahwa revolusi Yaman adalah imbas meluasnya pengaruh revolusi Iran yang terjadi secara alamiah. Empat belas provinsi Yaman akan segera dikendalikan oleh pemberontak Syi’ah Houtsi dari total 20 provinsi, dan penaklukan ini akan menjalar hingga memasuki Arab Saudi.
“Revolusi Yaman tentu tidak hanya berhenti di Yaman saja, dan akan dilanjutkan setelah keberhasilannya ke dalam negara Saudi dan luasnya perbatasan Yaman-Saudi akan mempercepat ekspansi ke jantung Arab Saudi”, kata Zakani.
Menguatkan pernyataan Zakani, Ketua penasehat IRGP (Islamic Revolution Guard Corp), Mojtaba Zolnour di depan Majelis Ulama Iran mengatakan bahwa kemenangan Houtsi (minoritas Syiah Houtsi, pen) di Yaman, merupakan pintu masuk untuk menaklukkan Arab Saudi. Teheran memandang fenomena penaklukan Yaman oleh Houtsi sebagai kemenangan besar Wilayatul Faqih Iran melawan ideologi Wahhabi Arab Saudi.
Ini membuktikan, bahwa opini tentang kategori Syi’ah moderat hanyalah tipuan berbisa. Karena Syi’ah, dimanapun semuanya rafidhah (ekstrem).
Dari Yaman Mengepung Saudi
Yaman adalah negara berbentuk republik di Jazirah Arab dengan luas sekitar 555.000 km2 dan berbatasan langsung dengan Arab Saudi di sebelah utara sepanjang daratan 2000 kilometer. Di sebelah selatan Yaman berbatasan dengan Laut Arab, di sebelah barat dengan Teluk Aden dan Laut Merah. Oman berada di sebelah timurnya, dan Arab Saudi di sebelah utara. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia sebagian besarnya berasal dari negara ini.
Republik Kesatuan Yaman yang terbentuk pada 22 Mei 1990 adalah penyatuan antara Yaman Utara -merdeka dari Kekaisaran Ottoman pada 1 November 1918- dan Yaman Selatan -merdeka dari Kerajaan Inggris pada 30 November 1967-. Penduduk Yaman diperkirakan berjumlah sekitar 23.5 juta jiwa. Wilayahnya meliputi lebih dari 200 pulau. Pulau terbesarnya, Sokotra, terletak sekitar 415 kilometer dari selatan Yaman, di lepas pantai Somalia.
Geografis Yaman yang begitu strategis telah dikonsep oleh Iran untuk dijadikan sebagai basis invasi ke jazirah Arab lainnya. Terdekat, Iran telah mempersiapkan diri melakukan penetrasi wilayah di sekeliling Arab Saudi. Skenarionya akan sama sebagaimana yang dilakukan terhadap Iraq. Hal ini diakui oleh Zakani akan adanya intervensi Iran melalui ‘Pasukan Al Quds’ di Irak.
Dia mengatakan, “Kalau Jenderal Qassem Suleimani tidak melakukan intervensi di detik-detik terakhir di Irak, bisa dipastikan Baghdad akan jatuh ke tangan gerakan Mujahidin, sebagaimana juga intervensi yang dilakukan Iran di Suriah”.
“Jika kita terlambat dalam membuat keputusan akhir terhadap krisis Suriah dan tidak campur tangan secara militer, pemerintah Suriah akan jatuh pada awal pemberontakan”, ujar Zakani.
Delegasi resmi Parlemen Iran telah mengunjungi Bashar al Assad di Damaskus awal tahun ini untuk mengucapkan selamat atas kemenangan pada pemilu Presiden Suriah ‘ala Bashar’ yang digelar pada Selasa, 3 Juni 2014. Assad mendapatkan suara lebih dari 80 persen dari 73 persen total suara yang sah dari daerah yang dikuasainya.
Intervensi Iran jelas terungkap ketika Assad menjawab ucapan selamat delegasi Parlemen Iran: “Ucapan selamat yang sesungguhnya harus diberikan kepada pemimpin spiritual Iran, Ali Khamenei bukan kepada saya, karena dialah yang paling pantas mendapatkan apresiasi atas peran pentingnya dalam keberhasilan saya dalam pemilihan ini”. (MS Syakur-RM)