Kartunis Charlie Hebdo Diazab Tembakan Maut

Dalih kebebasan berpendapat dan berekspresi dijadikan alasan pembenaran melecehkan Nabi Saw. dan merendahkan Islam. Karena itu, membela kemuliaan Islam dan kehormatan Nabi Muhammad Saw menjadi alasan yang sah dan shahih bagi Syarif dan Said Kouachi untuk mengeksekusi mati kartunis satir Charlie Hebdo. Aksi berani mati dua bersaudara itu untuk mengamalkan sabda Rasulullah Saw. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia di masa munculnya fitnah terhadap Islam, yaitu seorang Muslim yang mengendarai kudanya lalu berjalan di belakang musuh-musuh Allah untuk meneror mereka dan mereka pun menerornya. Atau seorang Muslim yang mengasingkan dirinya ke gunung untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah.”

(HR. Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Risalah Mujahidin – PERISTIWA berdarah di siang bolong, Rabu 7 Januari 2015, terjadi di kantor majalah Charlie Hebdo, Paris, Prancis. Dua lelaki berpakaian serba hitam menyergap masuk ke dalam kantor redaksi majalah yang kerap menerbitkan kartun-kartun satir dan cabul itu.

Kedua lelaki pemberani, yang kemudian diketahui bernama Syarif dan Said Kouachi (Kuwaisyi), memberondong sasarannya dengan senjata otomatis, dan menghabisi 12 orang yang ada di dalam kantor. Kesemuanya para kartunis dan juga Pemimpin Redaksi Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier.

Seperti dimuat BBC, Rabu (7/1/2015), pemred yang biasa disapa Chard itu sedang menggelar rapat redaksi ketika dua pria bersenjata yang mengenakan topeng menyerbu masuk dan melepas tembakan dengan senapan mesin Kalashnikov.

Stephane Charbonnier, pria berusia 47 tahun, sebelumnya sudah beberapa kali diancam pembunuhan, karena kebijakan redaksional majalahnya kerap menuai kontroversi. Ancaman pembunuhan itu akhirnya menjadi kenyataan setelah dia dan tiga kartunis lainnya masuk daftar korban yang akan dilibas.

Penyerangan terhadap Charlie Hebdo bukanlah yang pertama kali. Tahun 2007 Charlie Hebdo diseret ke pengadilan sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad yang dicetak ulang di majalah itu, dan membuat marah umat Muslim dunia. Majalah tersebut juga disebutkan pernah memuat lelucon yang dinilai menyerang ajaran Kristen dan Yudaisme.

Pada November 2011, kantor majalah tersebut juga pernah diserang bom molotov tak lama setelah menerbitkan kartun yang mengolok-olok Nabi Muhammad Saw dengan judul Charia Hebdo.

Sejak 2012, Chard menjadi pemred Charlie Hebdo, yang pertama kali terbit tahun 1969. Namun operasi majalah sempat berhenti pada 1981, kemudian terbit kembali pada 1992.

Namun teror-teror yang terus menghantui Charlie Hebdo ternyata tidak membuat mereka kapok. Salah seorang editor Carhlie Hebdo, Patrick Pelloux, dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Le Monde menyatakan bahwa ia dan para staf yang tersisa akan tetap menerbitkan edisi terbaru untuk minggu depan.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Charbonnier mengatakan insiden serangan bom molotov ke kantornya pada 2011 merupakan serangan terhadap kebebasan berpendapat, yang jelas tidak berdasarkan ajaran komunitas Islam di Prancis.

Chard nekad membela keputusan Charlie Hebdo memuat kartun yang disebutnya Nabi Muhammad. “Muhammad tidak suci bagi saya,” jelasnya dalam wawancara dengan kantor berita AP pada tahun 2012, ketika kantor Charlie Hebdo terbakar karena serangan bom molotov.

“Saya hidup berdasarkan undang-undang Prancis. Saya tidak hidup berdasarkan undang-undang Al-Quran,” tambahnya.

Paus Francis ikut berkomentar mengenai penyerangan terhadap kantor Charlie Hebdo di Prancis. Menurutnya, kebebasan berekspresi itu memiliki batasan.

Apalagi, lanjutnya, kebebasan itu ditunjukkan untuk menghina agama. “Kalian tidak boleh melakukan provokasi. Kalian juga tidak boleh menghina keyakinan orang lain. Kalian juga tidak boleh mempermainkan keyakinan,” ungkapnya seperti dikutip laman independent, Jumat (16/1).

Menurutnya, kebebasan beragama dan berekspresi itu memang sama-sama hak asasi manusia. Namun, keduanya juga memiliki kewajiban untuk memberikan kebaikan satu sama lain.

“Kita memang memiliki kebebasan, tapi kebebasan itu hendaknya tidak menyinggung pihak manapun,” tambah Paus.

Pernyataan keji dan kebiasaan mengolok-olok Nabi Muhammad Saw, mendapat jawaban dari para pemuda pemberani umat Muhammad Saw. Tidak memuliakan ‘Muhammad’ tidak berarti seseorang boleh melecehkan. Membuat kartun berdasarkan imajinasi, lalu menyebutnya Nabi Muhammad dan memublikasikannya, itulah penghinaan kaum kuffar idiot.

Oleh karena itu, Al-Qaeda di Jazirah Arab atau Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) menyatakan serangan terhadap majalah satire Perancis itu sebagai pembalasan bagi mereka yang melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw, ungkap seorang anggota kelompok Al-Qaeda yang berbasis di Yaman kepada Associated Press pada Jum’at (9/1/2014).

Sebuah edisi majalah Al-Qaeda di Jazirah Arab atau Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP), Inspire, sebelumnya dilaporkan pernah memuat sebuah poster ‘Wanted’ berisi pesan perburuan: ‘Hidup atau mati bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap Islam’.

Poster itu memuat daftar pelaku yang telah menista Islam. Salah satu orang yang masuk dalam daftar itu adalah Stephane Charbonnier, pemimpin redaksi majalah anti-Islam Charlie Hebdo yang ditembak mati itu. Selama ini Charbonnier hidup di bawah perlindungan polisi karena telah menerima sejumlah ancaman pembunuhan atas dirinya akibat ulahnya yang seakan tak pernah kapok menghina Rasulullah Saw.

Seorang saksi mata mengatakan salah satu dari pelaku serangan pada hari Rabu (7/1) itu terdengar meneriakkan, “Kami telah membunuh Charlie Hebdo. Kami telah membalas penghinaan pada Nabi.”

Penyerangan terhadap Charlie Hebdo tidak hanya menewaskan 12 orang. Serangan yang dilakukan oleh kakak beradik Syarif Kouachi dan Said Kouachi, serta Amedy Coulibaly juga menewaskan setidaknya 5 orang lain.

Seorang Polwan tewas ditembak oleh Coulibaly sebelah selatan kota Paris. Tidak hanya itu, Coulibaly juga menewaskan 4 orang sandera dalam penyanderaan di kosher atau supermarket khusus masyarakat Yahudi.

Sedangkan Kouachi bersaudara terbunuh saat berupaya sembunyi di sebuah gudang percetakan, yang kemudian diketahui dan dikepung polisi. Keduanya sembunyi dalam gudang di Dammartin-en-Goele, yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Bandara Internasional Charles de Gaulle dan diduga melakukan perlawanan serta menyandera warga saat akan ditangkap.

Khalifah Umar bin Khathab ra berkata, “Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!” 

Seorang ulama senior AQAP, Syaikh An-Nadhari tidak secara langsung mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu, namun dia mengatakan, “Bagaimana kita bisa tidak melawan orang-orang yang menyakiti Nabi kita, memfitnah agama kita dan memerangi kaum Muslimin?”

Untuk Perancis, dia berkata, “Sebaiknya kalian berhenti menyerang Muslim sehingga kalian dapat hidup dengan tenang. Tetapi jika kalian mengharapkan perang, maka bersukacitalah, kalian tidak akan menikmati kedamaian selama kalian memerangi Allah dan Rasul-Nya serta memerangi umat Islam.”

Radikalisme Humor

Siapapun yang menghina Nabi Muhammad Saw. maka penghinaan itu akan menimpa dirinya. Seperti orang yang menengadahkan wajah ke langit sambil meludah, niscaya ludahnya akan mengenai wajahnya sendiri.

Laporan koresponden BBC di Paris bernama Hugh Schofield mengatakan, Charlie Hebdo merupakan produk tradisi lama dalam jurnalisme Prancis. Tradisi ini menggabungkan radikalisme sayap kiri dengan jenis humor provokatif yang cenderung cabul.

Pada Abad ke-18, jenis humor tersebut menargetkan keluarga kerajaan, dengan menyebarkan rumor-rumor mengenai kelakuan seksual dan korupsi yang terjadi di Istana Versailles lewat cerita dan gambar.

Seperti dimuat BBC, Jumat (9/1/2015), setelah kaum royalis disingkirkan, tradisi tersebut mengincar kelompok lain, politisi, polisi, bankir, dan pemuka agama. Senjatanya adalah humor satire dan menyebarkan kebohongan.

Kebiasaan lama yang cenderung kurang ajar tersebut –separuh mengejek, separuh mempromosikan diri sendiri– tetap diterapkan untuk mencibir.

Sirkulasi majalah Charlie Hebdo termasuk kelas kacangan. Bahkan selama 1981 hingga 1991, majalah tersebut tidak terbit karena kurang sumber daya. Namun, karena kartun halaman depan majalah itu selalu mencolok dengan judul menghasut, Charlie Hebdo selalu dapat ditemukan di kios koran dan penjual buku.

Karikatur adalah fitur utama Charlie Hebdo. Tiada figur yang lolos dari karikatur celaan majalah itu. Kartun yang disebutnya Nabi Muhammad hanya sebagian dari ilustrasi kontroversial mereka. Sebelumnya, ada kartun di Charlie Hebdo yang menyerang Paus dan biarawati. Konten majalah ini sangat kasar dan kejam dengan menggunakan kartun kontroversial.

Tak Jera Menghina

Menghina dan melecehkan obyek berita, lalu menganggapnya sebagai produk kebebasan berekspresi, merupakan tradisi pers mungkar yang hanya dilakukan manusia berotak idiot.

Presiden Prancis Francois Hollande menyebut serangan terhadap kantor majalah satir, Charlie Hebdo, sebagai “tindakan sangat barbar.” Dia menegaskan, Prancis harus menanggapinya dengan tegas. Serangan ini menewaskan sedikitnya 12 orang.

“Ini adalah tindakan sangat barbar yang baru saja terjadi di Paris. Aksi ini telah merenggut kebebasan berbicara terhadap para wartawan yang selalu berusaha menunjukkan bahwa di Prancis sebuah majalah bisa beroperasi untuk mempertahankan gagasan mereka dan untuk memiliki kebebasan yang dilindungi republik ini,” kata Hollande saat mengunjungi kantor Charlie Hebdo di Paris.

Serangan itu juga dikecam oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Menurutnya, serangan terhadap Charlie Hebdo sangat mengerikan. Kata dia, penembakan di Prancis bukan hanya serangan terhadap rakyat Prancis, tetapi juga serangan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Perdana Menteri Inggris David Cameron juga mengecam serangan. Presiden Italia Matteo Renzi mengatakan kekerasan akan selalu bisa dikalahkan oleh kebebasan. Ia menyampaikan kecaman ini melalui akun Twitternya.

Diberitakan juga, lebih dari satu juta orang ‘membanjiri’ kota Paris, Minggu (11/1/2015) untuk mengutuk aksi terorisme. Tidak hanya jutaan rakyat Perancis, aksi solidaritas ini juga diikuti sejumlah 40 pemimpin dunia, di antaranya adalah Presiden Perancis Francois Hollande, Perdana Menteri Inggris David Cameron, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, Ratu Rania Abdullah dari Jordania, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, hingga Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Aksi dimulai dengan mengheningkan cipta selama satu menit. Setelah itu, massa bergerak dari Place de la Republique menuju Place de la Nation sambil meneriakkan kata liberte” (kebebasan) dan “Charlie” yang merujuk pada Charlie Hebdo. Kerabat dari korban penembakan di Charlie Hebdo terlihat memimpin aksi ini.

Sejumlah spanduk yang dibentangkan pun memperlihatkan tujuan aksi untuk menolak takut terhadap segala macam bentuk teror. Misalnya saja spanduk bertuliskan “Saya orang Perancis dan saya tidak takut”. Ada juga spanduk bertuliskan, “Tinta yang harusnya mengalir, bukan darah”.

Komunitas Islamophobia tak pernah jera menghina. Komentar para kepala Negara di atas terdengar aneh. Mereka mengecam aksi kekerasan, tapi membela kejahatan yang menyulut timbulnya kekerasan tersebut. Mereka yang mengutuk pelaku penembakan dengan alasan menjunjung tinggi kebebasan, sebenarnya merekalah manusia terkutuk.

Solidaritas Munafik

Aksi solidaritas jahiliah yang dipertontonkan di Paris, sebagai pembenaran atas predator kejahatan penghina Nabi Saw, akan membuat para Islamophobia kian jahat dan pongah. Adanya pembelaan ini, memotivasi para kartunis cabul dan anti agama menghina agama dan bangsa lain.

Buktinya, Charlie Hebdo kembali memprovokasi melalui terbitan perdananya pasca-penembakan. Sebuah kartun dengan sesosok pria berpakaian putih dan bersorban, dan Charlie Hebdo menyebutnya sebagai Nabi Muhammad.

Dilansir dari AFP, Selasa (13/1/2015),  sosok kartun itu digambarkan berwajah sedih yang sedang meneteskan air mata, memegang kertas bertuliskan “Je Suis Charlie” (Kami adalah Charlie). Selain itu, di atas sosok kartun yang menggunakan sorban putih ini, terdapat judul tulisan besar “Tout Est Pardonne,” yang berarti “Semua telah dimaafkan.”

Peluncuran sampul ini dibuat lebih cepat dari jadual rilis yang direncanakan sebelumnya.  Pihak penerbit menyiapkan setidaknya 3 juta kopi dari 60.000 kopi eksemplar yang biasanya diterbitkan. Rencananya, majalah ini akan didistribusikan ke 25 negara dan diterjemahkan ke 16 bahasa atas permintaan global.

Kolumnis Patrick Pelloux mengatakan, keputusan untuk tetap menerbitkan majalah itu akan menunjukkan bahwa “kebodohan tidak akan menang.”

“Amat sulit. Kami semua menderita, dengan duka, dengan ketakutan, namun kami akan tetap melakukannya, karena kebodohan tidak akan menang,” jelas Pelloux seperti dikutip dari BBC, Jumat (9/1/2015).

Charlie Hebdo bisa terbit kembali berkat bantuan harian Liberation, yang kini menjadi kantor penampungan sementara mereka. Menurut laporan laman The Guardian, Jumat (9/1/2014), Google memberikan sumbangan sebesar US$ 300 ribu atau sekitar Rp 3,7 miliar bagi majalah Charlie Hebdo. Sumbangan yang mengatasnamakan ‘galangan dana pers’ ini merupakan bentuk dukungan Google terhadap hak kebebasan pers.

Selain Google, asosiasi penerbit Perancis juga telah menyalurkan sumbangan dana bantuan dengan jumlah yang sama. Termasuk surat kabar Liberation dan Le Monde juga menyatakan akan membantu penerbitan majalah itu.

Aksi solidaritas Charlie Hebdo, membuktikan kebenaran firman Allah Swt, bahwa:

Orang-orang kafir, satu dengan lainnya saling tolong-menolong. Wahai kaum mukmin, jika kalian satu dengan lainnya tidak saling tolong menolong, maka akan muncul kekacauan dalam barisan kalian, permusuhan dan kezhaliman yang besar di muka bumi.” (Qs. Al-Anfal, 8:73)

Islamophobia pasca serangan itu terlihat meningkat di Eropa. Di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya, serangan dan pelecehan terhadap masjid dan fasilitas Islam lainnya dikabarkan meningkat. Beberapa masjid yang berada di Prancis menjadi sasaran penyerangan sejumlah kelompok. Kaum Muslimah berjilbab di Belgia merasa takut keluar rumah. Mereka khawatir mendapat serangan di jalan.

Berdasarkan kenyataan ini, Presiden Turki menuduh Barat munafik dalam menyikapi serangan ke majalah satire Charlie Hebdo; tetapi tidak mengecam aksi anti-Muslim di Eropa. Mereka ribut mempersoalkan kematian 17 orang, sedangkan kematian ribuan orang di Gaza dan Suriah didiamkan.

“Kemunafikan Barat jelas terlihat. Sebagai Muslim, kami tidak pernah ikut serta dalam pembantaian massal. Di belakang ini ada rasisme, pidato kebencian dan Islamophobia,” ujar Erdogan.

“Tolong, pemerintah di negara-negara dimana masjid diserang harus mengambil tindakan juga. Dunia Islam sedang dipermainkan, kita harus waspada,” kata Erdogan lagi. Masjid-masjid di Perancis, Jerman dan Swedia dirusak sebelum dan setelah serangan, yang dipicu kebencian dan anti-Muslim yang berkembang di seluruh benua Eropa.

Tak hanya itu, majalah cabul Charlie Hebdo merasa berhak mengolok-olok Islam atas nama kebebasan berekspresi. Mengapa pembelaan terhadap Islam dinilai memicu kebencian dan teror, sementara yang menghina sehingga mengundang kemarahan dibela sebagai korban teror?

Tayyip Erdogan, juga mengecam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menghadiri pawai di Paris. Padahal menurutnya perilaku Netanyahu melebihi Hitler dan kaum barbar.

“Bagaimana bisa seseorang yang telah membunuh 25 ribu orang di Gaza melalui terorisme negara melambaikan tangan di Paris, sepertinya orang gembira melihat dia? Berani-beraninya dia ada di sana?” ujarnya.

“Pertama, Anda harus bertanggungjaab atas anak-anak dan perempuan yang Anda bunuh,” tambah Erdogan, yang sejak lama merupakan pengkritik serangan Israel terhadap Hamas di Jalur Gaza meski Turki dan Israel memiliki hubungan dagang yang erat.

Erdogan juga mengisyaratkan bahwa serangan yang menewaskan 17 orang itu merupakan kegagalan pasukan keamanan Perancis karena tersangka pernah menjalani hukuman penjara.

“Warga Perancis yang melakukan pembantaian seperti itu, dan Muslim yang menderita. Apakah organisasi intelijen mereka tidak melacak orang yang keluar dari penjara?”

Dalam laporan Al-Jazeera, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan,  juga menyeru negara-negara Eropa untuk memerangi Islamophobia dan mencegah demonstrasi yang memusuhi Islam. Seruan itu sebagai ganti dari upaya Eropa mengajari Turki berdemokrasi.

Hal itu ia sampaikan dalam sebuah pidato di hadapan para duta besar Turki di Ankara, pada Selasa (06/01). Ia sangat menyayangkan Eropa yang mengklaim dirinya bersikap demokratis. “Sangat disayangkan bahwa Uni Eropa sedang mencoba mengajari Turki (berdemokrasi), namun di negara mereka tidak mempraktekkan demokrasi,” kecam Erdogan.

Ia mengungkapkan bahwa Islamophobia menjadi ancaman serius di Eropa. Jika hal itu tidak segera diselesaikan dan para pemimpin Eropa tersandera, lanjutnya, maka perlu dikaji ulang system nilai di Eropa.

Pernyataan ini dikeluarkan sehari setelah ribuan orang turun ke jalan di kota Dresden, Jerman, menolak Islamisasi di Barat. Mereka turun ke jalan atas undangan Asosiasi Anti Imigrasi, yang benci terhadap Islam.

Erdogan menghimbau Uni Eropa untuk mengkaji ulang kebijakan mereka kepada Turki. Ia menuduh Uni Eropa sengaja mengulur-ulur waktu menyetujui penggabungan Turki ke Uni Eropa.

Di akhir pidatonya, Erdogan mengajak seluruh duta besarnya sebagai duta negara Turki yang kuat dan percaya diri. Turki bukan negara biasa yang mudah dibodohi. Turki adalah negara besar dengan ekonomi, demokrasi dan kebijakan luar negerinya.

Kecaman terhadap provokasi Charlie Hebdo juga datang dari negeri kudeta, Mesir. Lembaga Fatwa di Mesir, Dar al-Ifta, angkat bicara terkait kartun Nabi Muhammad baru yang diterbitkan oleh Charlie Hebdo. Mereka mengecam keras penerbitan kartun tersebut, dan menyebut tindakan tersebut sebagai aksi provokasi kepada umat Muslim di seluruh dunia.

“Tindakan ini merupakan provokasi yang tidak bisa dibenarkan terhadap perasaan 1,5 miliar umat Muslim di seluruh dunia,” kata Dar al-Ifta dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (13/1/2015).

“Edisi terbaru surat kabar itu akan menimbulkan gelombang baru kebencian di masyarakat Prancis dan Barat. Apa yang surat kabar itu lakukan tidak sejalan dengan koeksistensi dan dialog budaya, seperti yang diharapkan oleh umat Muslim,” imbuhnya.

Membela predator kejahatan untuk menumpas kejahatan lainnya, seperti dilakukan para kepala negara dan pemilik modal media masa di Eropa, bukanlah solusi akal waras. Penghinaan Charlie Hebdo, pantas di azab dengan tembakan maut, agar kebebasan tidak disalahgunakan berdasarkan persepsinya sendiri.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyekutukan Allah dan mengganggu Rasul-Nya, maka Allah akan melaknat mereka di dunia dan di akhirat. Allah sediakan adzab yang menghinakan bagi mereka. Orang-orang yang memperolok-olok kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan, padahal mereka tidak melakukan kesalahan apapun, maka orang itu telah melakukan perbuatan bohong dan dosa besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 57-58)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top