Madrasah Umi: Menyiapkan Generasi Hafal Qur’an

anak-ngajiRisalah Mujahidin – Suatu ketika, mungkin terbetik di hati para ibu, memiliki anak-anak yang shalih, cerdas otaknya, mulia akhlaknya dan kuat fisiknya. Setelah anak-anaknya berangkat dewasa, muncul keinginan yang lebih tinggi lagi. Keinginan memiliki anak, seorang sarjana ekonomi sekaligus ahli fiqih dan hafal Al-Qur’an. Seorang profesor di bidang tata Negara sekaligus ahli hadits dan hafal Al-Qur’an. Seorang doktor di bidang politik, ahli tafsir dan hafidz Al-Qur’an. Seorang panglima tentara, ahli strategi dan hafal Al-Qur’an.

Bahkan keinginan seorang ibu memiliki anak calon presiden yang alim, shalih dan hafal Al-Qur’an, sehingga memerintah negerinya dengan adil dan beradab di bawah naungan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.

Segala kainginan itu, tidak muluk dan insyaallah bisa diraih dengan ikhtiyar yang sungguh-sungguh, dan tentu pertolongan Allah Rabbul Alamin. Ikhtiyar ini, sebagai pondasi membangun peradaban manusia yang diridhai Allah.

Kita membaca sejarah bahwa para shalihin dan ulama shalih dan amilin, mereka rata-rata menghafal Al-Qur’an 30 juz tatkala mereka belum menginjak dewasa (baligh), bahkan masih anak-anak. Sebagai contoh, Imam asy-Syafi’i yang tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga.

Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanya ke tanah Hijaz, Mekkah, dari sinilah imam asy-Syafi’i kecil mulai menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun. Usia selebihnya adalah usia-usia murajaah dan usia produktif untuk mempelajari ilmu-ilmu syari’ah dari para gurunya.

Dapat disebutkan para penghafal Al-Qur’an di usia muda antara lain: Imam Syafi’i (150 H-204H), hafal Al-Quran ketika usia 7 tahun, Imam Ath-Thabari (224 H – 310 H), ahli tafsir, hafal Al-Quran usia 7 tahun. Usia 8 tahun menjadi imam shalat, menulis hadits pada usia 9 tahun. Ibnu Qudamah (541 H – 620 H), hafal Al-Quran usia 10 tahun. Ibnu Sina ( 370 H- 428 H), hafal Al-Quran umur 5 tahun. Imam Nawawi, hafal Al-Quran sebelum usia baligh.

Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal, hafal Al-Quran sejak kecil. Ibnu Khaldun (732 H- 808 H), hafal Al-Quran usia 7 tahun. Imam As-Suyuthi (w: 911 H), hafal Al-Qur’an sebelum umur 8 tahun. Umur 15 tahun hafal kitab al-Umdah, Minhaj al-Fiqh wa al-Ushul, Alfiyah Ibn Malik. Umar bin Abdul Aziz, hafal al-Qur’an ketika masih kecil. Ibnu Hajar Al-Atsqalani (w: 852 H) hafal Al-Qur’an ketika berusia 9 tahun. Jamaluddin Al-Mizzi (w: 742 H), hafal al-Qur’an ketika kecil.

Tidak akan lahir para huffadz cilik manakala Sang Ibu tidak bersungguh-sungguh memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an sebelum dan setelah kelahirannya. Bahkan Islam telah memberikan fasilitas gratis kepada setiap wanita yang mengandung untuk melakukan pendidikan lebih dini lagi, yaitu ketika janin masih berada di dalam kandungan.

Pendidikan Pralahir

Islam memiliki begitu banyak fasilitas gratis dan otomatis bagi seorang wanita untuk melaksanakan pendidikan anak sebelum lahir atau lebih dikenal dengan nama prenatal education. Wanita yang mengandung harus berdisiplin, mengatur waktu-waktu ibadah, mengagungkan asma Allah, menyadari dirinya sebagai hamba-Nya yang memiliki kewajiban mulia dalam pengabdiannya. Menyadari bahwa dia sedang mempersiapkan kehadiran seorang hamba Allah yang diidam-idamkannya. Wanita itu akan berdo’a bagi keselamatan bayinya, bertasbih dan berdzikir memuji Allah dalam setiap shalatnya.

Seorang wanita calon ibu mempunyai kesempatan mempersiapkan putranya nanti menjadi hafidz dan hafidzah disaat mereka masih di dalam kandungan. Bukankah dia setiap hari membaca 17 kali surah Al-Fatihah dalam shalat fardhu, membaca surah-surah yang lain, berdzikir, mengagungkan asma Allah, memahasucikan-Nya, berdo’a dan beristighfar selama mengandung hingga melahirkan anaknya. Belum lagi, jika wanita itu melakukan shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, shalat tahajjud di malam hari, memohonkan do’a untuk bayinya, rajin membaca Al-Qur’an dan meramaikan rumah tempat tinggalnya dengan tilawah Al-Qur’an.

Madrasah Umi, semestinya bisa memberikan fasilitas dan suasana kondusif di lingkungan rumah tempat tinggal dan lingkungannya untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an daripada lainnya, sebagai persiapan bagi kelahiran buah hati cintanya.

Memilih Pasangan Hidup

Pendidikan prenatal adalah salah satu upaya persiapan pendidikan yang dimulai ketika seseorang memilih pasangan hidupnya sampai pada saat setelah terjadinya pembuahan dalam rahim sang ibu. Dalam kaitan ini, Islam telah mengajarkan hal-hal berikut :

Dalam memilih pasangan hidup, Islam mengajarkan agar mengutamakan pengetahuan agamanya yang sama-sama beragama Islam, dan juga memiliki peran dan tingkah laku yang baik. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena kekayaannya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya, kamu pasti akan hidup bahagia.”

Berdasarkan hadits ini, sangatlah jelas bagaimana kita harus memilih calon pasangan hidup. Agama dan akhlak merupakan dua hal yang paling utama. Setelah kedua hal ini barulah faktor-faktor lain dipertimbangkan, seperti mencari rizki dan makanan yang halal.

Disebutkan dalam Qs. An-Nahl:114, yang Artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”

Apa yang kita konsumsi sehari-hari itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keturunan, baik itu fisik maupun mental. Selain itu, menurut disiplin ilmu biologi, makanan yang baik dan bergizi itu memiliki pengaruh yang besar terhadap pematangan ovum dan spermatozoa yang kemudian akan menjadi janin yang sehat dan kuat.

Pendidikan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari asal terciptanya manusia itu sendiri. Kata pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu kata dengan “Rabb” (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya.

Manusia adalah pelaksana dari pendidikan. Dalam al-Quran, manusia sebagai makhluk Allah yang mempunyai dua tugas utama, yaitu sebagai khalifah fi al-Ardh dan sebagai hamba (‘abid) yang diperintahkan untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan bekal dasar yaitu penglihatan, pendengaran, potensi akal (af-idah). Dengan ketiga indera tersebut merupakan sarana dasar manusia dalam menerima pendidikan, walaupun pada awalnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun.

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Qs. an-Nahl: 78)

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Tuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd mengatakan: Bahwa orang yang berpendapat tentang janin dalam kandungan ibu tidak bisa melihat dan tidak mendengar suara itu tidak benar dan tidak ada dalilnya. Menurut dia, ayat itu menunjukkan bahwa media penglihatan, pendengaran dan akal itu sudah diciptakan sejak dalam kandungan beserta kekuatan dasarnya. Dan tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa fungsi, namun fungsi itu masih bersifat pasif dan akan berfungsi aktif setelah janin itu dilahirkan dari rahim ibunya.

Dengan adanya fungsi itu, seharusnya orang tua -khususnya ibu- selalu melakukan stimulus-stimulus dengan memperlakukan janin dengan baik, perlakuan yang baik itu diantaranya memberikan pelayanan yang baik dan tepat terhadap anaknya yang masih dalam kandungan. Tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan dampak negatif baik fisik maupun psikis. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya:

الشقي من شقى في بطن أمه (رواه مسلم عن عبدالله ابن مسعود)

“Anak yang celaka adalah anak yang telah mendapatkan kesempitan di masa dalam perut ibunya.” (HR. Imam Muslim)

Dalam Islam bukan hanya pada masa kandungan yang harus diperhatikan, tapi mulai sejak memilih pasangan, dianjurkan memilih yang baik dan utama. Sabda Nabi Muhammad Saw:

تخيروا لنطفكم، فإن العرق دساس (رواه ابن ماجه عن عائشة)

“Memilihlah kalian semua untuk mani kalian (anak/keturunan) karena sesungguhnya iriq adalah dassas.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah).

Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid, kata “al-irqu dassasun”, artinya sesungguhnya akhlak orang tua berpindah kepada anak-anaknya. Hadits ini menjelaskan bahwa anjuran untuk mencari lahan yang subur untuk menanam benih (sperma) sehingga anak-anaknya tidak mewarisi sifat tercela.

Mendidik atau “rabba” dalam bahasa Arab bukan berarti “mengganti” (tabdiil) dan bukan pula berarti “merubah” (taghyiir). Melainkan menumbuhkan, mengembangkan dan menyuburkan, atau lebih tepat “mengondisikan” sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri seseorang akan terkontaminasi dengan hal-hal negatif dalam kehidupan itu sendiri.

Hal negatif dalam kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits Nabi dengan “tahwiid” (meyahudikan)“tanshiir” (menasranikan) dan “tamjiis” (memajusikan).

Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dalam kitab Shohih Muslim, yaitu:

ما مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ… الحديث

“Tidak seorangpun dilahirkan kecuali dalam keadaan suci (memiliki sifat-sifat dasar) kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani dan majusi.” (al-Hadits)

Di samping itu, pendidikan merupakan suatu tujuan dan proses menjaga eksistensi fitrah manusia.

Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan “Ideologi Pendidikan Islam” menyatakan; “yang dinamakan pendidikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.

Pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Ini tidak hanya terkait dengan manusia seperti apa yang diharapkan di masa depan, tetapi juga dengan proses seperti apa yang akan diberlakukan sejak awal keberadaannya mulai dari kandungan. Baik dalam konteks peserta didik maupun proses, karenanya pendidikan Islam perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format langkah-langkah yang akan dilakukan.

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam sebagai upaya membentuk dan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang berakhlak mulia dan bertaqwa, harus di mulai sejak dini, saat manusia itu sendiri masih dalam kandungan. Karena saat itulah watak seorang anak dibentuk melalui stimulus-stimulus edukatif. Pada hakikatnya, anak-anak sebagai generasi unggul tidak akan berkembang dengan sendirinya. Mereka memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi mereka tumbuh dengan optimal. Orang tua memegang peranan penting menciptakan kondisi lingkungan tersebut guna memotivasi anak agar dapat lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi.

Menurut penelitian Dr. Craig dari University of Alabama menunjukkan hasil bahwa program stimulasi dini meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang diteliti masa pra lahir hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai kecerdasan 15 persen hingga 30 persen lebih tinggi. Selain itu, menurut F. Rene Van de Carr, dkk, bahwa The Prenatal Enrichment diHua Chiew General Hospital di Bangkok Thailand yang dipimpin Dr. C. Panthura-amphorn, telah melakukan penelitian bahwa bayi yang diberi stimulasi pralahir cepat mahir bicara, menirukan suara, menyebut kata pertama, tersenyum secara spontan, lebih tanggap, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat ia dewasa.

Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Tholib berrkata kepada puteranya al-Hasan. “Hati anak bagaikan lahan kosong. Apa yang ditanam di atasnya akan diterima. Maka tanamlah di dalamnya sopan santun sebelum hatimu menjadi keras dan pikiranmu menjadi rusak”.

Selaras dengan teori tabularasa John Loke yang menyebutkan “bahwa seorang anak bagaikan kertas putih.”

Dalam konteks pendidikan anak, peran orang tua sangatlah menentukan karena orang tua adalah “the fisth education for child”atau “awwalu tarbiyah fil manzil” dan yang sangat berperan dalam hal ini adalah ibu. Ayah dan ibu sebagai pihak yang bertanggung jawab harus berusaha keras menghiasi anaknya dengan sifat-sifat kemuliaan dan akhlak terpuji. Mulai sejak berada dalam kandungan, perasaan anak muncul dan tercipta secara pasif yang hanya bisa menerima sebelum akalnya berkembang.

Dalam lingkungan keluarga dewasa ini, pendidikan prenatal masih sering dianggap hanya sebagai bentuk tradisi yang turun temurun, menjaga anak dalam kandungan sekedar merupakan kewajiban orang tua untuk mempunyai anak yang sehat dan lahir dengan sempurna, tidak cacat dan tidak keguguran. Sehingga pola gerak, tindak dan pola makanan ibu saat mengandung lebih dijaga dan diperhatikan. Bahkan di masyarakat kita ada yang menganggap itu bukan hanya tradisi tapi juga mitos. Sehingga ada anggapan bagi keluarga ibu hamil itu, tidak boleh berkata kotor, tidak boleh menyakiti manusia dan hewan karena akan mempengaruhi kepada janin yang sedang dikandung. Padahal semua itu termasuk ajaran Islam.

Di sisi lain, fenomena pendidikan saat ini, mengalami tantangan berat, dimana banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, kenakalan remaja, kasus narkoba, pemerkosaan, “tawuran” antar sekolah, antar kampus, bahkan pembunuhan sering diliput oleh media cetak dan media informasi yang hasilnya kebanyakan dari mereka adalah golongan pelajar (peserta didik). Golongan yang selalu melakukan proses belajar, golongan yang masih didominasi oleh pembentukan karakter pertama kalinya yaitu masa anak-anak. Siapakah yang salah, atau apakah yang salah?

Sebenarnya permasalahan dalam pendidikan prenatal adalah bukan bagaimana mendidik anak dalam kandungan secara efektif, tapi bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua harus berusaha melakukan stimulus dan menjaga sikapnya baik dalam ranah emosional dan spiritual bukan hanya sekedar tradisi dan mitos. Anak adalah refleksi dari orang tuanya, anak juga merupakan representasi dari keadaan suatu keluarga.

Pendidikan prenatal merupakan pendidikan sebelum masa melahirkan. Masa ini ditandai dengan tiga fase, yaitu fase pemilihan jodoh, pernikahan dan kehamilan.

  1. Fase Pemilihan JodohFase ini merupakan fase persiapan bagi seseorang yang telah dewasa untuk menghadapi hidup baru, yaitu berkeluarga. Berkenaan dengan hal ini, syari’at Islam telah meletakkan kaidah dan hukum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar serta syarat yang penting dalam pemilihan calon istri dan calon suami.
  1. Fase Perkawinan atau PernikahanAda beberapa aspek yang dijelaskan oleh syari’at Islam yang berhubungan dengan anjuran pernikahan/perkawinan antara lain : bahwa perkawinan merupakan Sunnah Rasul, untuk ketentraman kasih sayang, untuk mendapatkan keturunan. Perkawinan juga dimaksukan untuk memelihara pandangan dan menjaga kemaluan dari kemaksiatanSetelah calon dipilih, diadakan peminangan dan selanjutnya dilaksanakan pernikahan dengan Walimatul Urs-nya.
  1. Fase KehamilanSalah satu tujuan rumah tangga adalah untuk mendapatkan seorang anak (keturunan). Karena itu, seorang istri berharap agar ia dapat melahirkan seorang anak. Untuk memiliki seorang anak dibutuhkan proses selama sembilan bulan mengandung.

Prof. DR. Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa:”Keadaan dan sikap orang tua ketika anak dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi anak. Oleh karena itu, Islam menganjurkan pada umatnya untuk memulai pendidikan anak sejak dalam kandungan dengan cara mendidik ibunya dan menciptakan suasana yang tenang dan tenteram dalam kehidupan keluarga.

Prof. DR. Baihaqi, AK., telah menyusun materi-materi pendidikan untuk anak prenatal dengan berlandaskan pada pendidikan Islam, sebagai berikut : Shalat fardlu lima waktu, Shalat-shalat sunah, membaca Al-Qur’an, Aqidah/tauhid, Ilmu pengetahuan, Akhlak mulia, Do’a, Lagu-lagu Islami/Murattal

Masa kehamilan memiliki beberapa tahapan, yaitu: Pertama, tahap nuthfah. Pada tahap ini, calon anak masih dalam bentuk cairan sperma dan sel telur. Tahap ini berlangsung selama 40 hari.

Periode ini berawal dari adanya kehidupan. Hal ini dinyatakan dengan adanya perkembangan yang berawal dari nuthfah sampai menjadi mudghah, yang kemudian menjadi seorang bayi.

Kedua, tahap ‘alaqah, setelah berumur 80 hari, cairan tersebut berkembang bagaikan segumpal darah kental dan bergantung pada dinding rahim ibu.

Ketiga, tahap mudghah, setelah berumur 120 hari, segumpal darah tadi berkembang menjadi segumpal daging. Pada masa inilah, calon bayi telah siap menerima hembusan ruh dari Malaikat utusan Allah. Setelah berbentuk daging (mudghah), Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Tampaknya, ruh inilah yang menjadi tahap awal bergeraknya kehidupan psikis manusia.

Dalam fase kehamilan ini, ada beberapa kewajiban seorang wanita yang sedang mengandung. Yaitu,

  1. Makan makanan yang bergizi,
  2. Menghindari benturan-benturan,
  3. Menjauhi minuman keras, merokok, dan berbagai jenis makanan yang diharamkan Allah SWT,
  4. Menjaga rahim dengan baik.

Sumber: http://www.bahrun.net/2013/07/pendididkan-pranatal-menurut-islam.html.

(MS. Syakur)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top