Risalah Mujahidin – KRISTENISASI, dalam bahasa Arab disebut al-Tanshir, adalah sebuah gerakan keagamaan yang bersifat politis kolonialis. Muncul akibat kegagalan Perang Salib sebagai upaya penyebaran agama Kristen di negara-negara berkembang, terutama negara-negara Muslim.
Tujuannya, selain untuk menguasai negara-negara tersebut secara politis dan ekonomis, juga dan yang paling terpenting adalah untuk memurtadkan, atau minimal menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam.
Namun, selama berabad-abad Kristenisasi terbukti misi yang gagal. Para misionaris Kristen, hanya berhasil melahirkan Islamophobia, yaitu menyebarkan rasa takut dan benci kepada Islam dan kaum Muslimin. Termasuk mendiskriminasi orang Islam, mengasingkan mereka dari kegiatan ekonomi, sosial dan kehidupan masyarakat.
Kebencian terhadap Islam telah dibuktikan dengan usaha jahat, strategi culas, dan politik adu domba, sehingga membentuk sebuah tata dunia baru yang menjadikan Islam sebagai obyek pemurtadan dan stigma negatif.
Akan tetapi hasilnya justru sebaliknya, semakin banyak manusia yang beralih memeluk Islam. Sebagai pelajaran berharga, ternyata menyebar kebencian dan permusuhan bukanlah cara yang benar untuk menarik simpati dalam dakwah agama.
Istilah Islamphobia muncul sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi kian populer terutama selepas peristiwa bom WTC 11 September 2001. Efek global dari peristiwa ini telah menyulut negara-negara di berbagai belahan dunia, baik benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia melahirkan persepsi negatif tentang Islam.
Di Belanda ada peraturan pelarangan jilbab bagi siswa putri di sekolah, dengan alasan bukan karakter sekolah Belanda. Bahkan secara resmi, ada partai politik anti-Islam yang didirikan di Belanda di bawah kepemimpinan Geert Wilders yang memproklamirkan perang melawan Islam dengan menerbitkan buku, yang isinya ingin menghambat Islamisasi internasional.
Di Prancis pemerintah melarang mengenakan jilbab, tidak hanya berlaku di ranah publik, tapi juga dibatasi di lingkungan rumah sendiri.
Seorang ibu rumah tangga Muslim di Perancis tak diperbolehkan menjemput anaknya di sekolah atau ikut dalam pertemuan orang tua anak di sekolah, jika mengenakan jilbab.
Lebih parah, perawat bayi atau anak di rumahnya sendiri harus melepas jilbab, apabila orang tua anak asuhnya memintanya untuk tak memakai jilbab. Bahkan aturan yang paling diskriminatif pun terjadi. Pemerintah Perancis melarang jilbab bagi para turis. Pernah ada suatu kejadian di mana seorang turis asal Dubai mengenakan jilbab dan memasuki suatu objek wisata. Tiba-tiba, petugas keamanan di objek wisata tersebut memintanya untuk keluar apabila masih mengenakan jilbab.
Menurut Ketua Komisi Islam untuk Hak Asasi Manusia (IHRC), Massoud Shadjareh, Jumat (26/9/2014), bahwa aksi-aksi yang dilakukan ISIS, organisasi Negara Islam Irak dan Syam salah satu penyebab umat Islam dunia berada dalam kondisi sulit.
Menurut Shadjareh, permusuhan terhadap Islam memang sama sekali tidak akan berhenti. Permusuhan itu terlihat sangat kuat pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat. Sejak itu, permusuhan terhadap Islam bertambah status sebagai aksi yang legal.
Saat ini, menurutnya, banyak umat Islam yang menjadi korban pelecehan semisal penarikan jilbab yang sedang dikenakan, diludahi, disebut sebagai teroris, dan sebagainya. Bahkan Islamophobia tidak pernah berhenti menjadi agenda media-media Barat. Media-media Barat setiap harinya bisa menayangkan materi informasi yang bertendensi Islamophobia.
Shadjareh mengatakan, “Hasil penelitian kami, Islamophobia kini sudah menjadi sebuah wawasan. Setiap hari media selalu menampilkan ungkapan yang menebarkan kebencian kepada umat Islam, baik berasal dari kepolisian, militer, lembaga-lembaga pemerintah, dan sebagainya. Bahkan saat ini ungkapan-ungkapan anti Islam ini tidak hanya berasal dari kelompok keras garis kanan.”
Shadjareh menyebutkan bahwa aksi-aksi ISIS saat ini sangat berperan dalam meningkatkan gelombang anti Islam tersebut. Media yang intensif memberitakan aksi-aksi mereka telah banyak menyebabkan warga Muslim di Eropa mengalami gangguan. Gerakan Islamophobia semakin kuat, karena kepolisian di berbagai negara Eropa juga melakukan penekanan terhadap organisasi-organisasi keislaman di sana.
Kebencian warga AS terhadap Islam dilaporkan meningkat setelah dipenggalnya kepala James Foley, wartawan AS, oleh ISIS. Ditambah lagi pengakuan-pengakuan Muslim Barat atas kehendak mereka memilih bergabung dengan ISIS semakin membuat Islamophobia lebih kuat lagi.
ISIS memang tidak mewakili Islam tetapi telah memberikan dampak buruk terhadap Islam. ISIS telah menebar ancaman yang sesungguhnya berakibat besar bagi umat Islam, tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga di negara-negara lainnya.
Mengapa Islam di benci dan melahirkan Islamophobia? Secara ideologis dan politis, Islamphobia muncul, setidaknya disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Kedengkian kaum Yahudi dan Nasrani dengan diutus-Nya Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi penutup yang tidak berasal dari komunitas mereka. Karena itu, mereka menolak kitab suci Al-Qur’an yang secara gamblang mengoreksi keyakinan dan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang menyimpang dari tauhid (monotheisme).
Al-Qur’an datang dengan hujjah yang cemerlang, menelanjangi kesesatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Taurat dan Injil yang asli. Mereka takut dan cemburu menyaksikan dakwah Islam yang begitu pesat, sehingga semakin banyak gembala Kristen yang meninggalkan agamanya dan menganut kebenaran Islam.
Kekalahan dalam Perang Salib, juga masih mengucurkan darah luka, sehingga menyisakan dendam sejarah berupa Islamophobia sampai sekarang. Kebencian mereka di gambarkan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Swt:
“Wahai Muhammad, kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu sampai kamu mau mengikuti agama mereka. Wahai Muhammad, katakanlah, ‘Sungguh Islam itulah agama Allah yang sebenarnya.’ Sekiranya kamu mengikuti agama kaum Yahudi dan Nasrani, padahal telah datang kepadamu perintah untuk mengikuti Islam, niscaya tidak ada orang yang dapat menolong kamu dari siksa Allah di akhirat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 120).
“Wahai kaum mukmin, bila kalian memperoleh kebaikan, maka golongan kafir merasa jengkel. Akan tetapi jika kalian ditimpa musibah, mereka bergembira. Jika kalian sabar, rela menerima musibah, dan tetap taat kepada Allah, maka tipu daya mereka tidak akan membahayakan kalian sedikit pun. Sungguh Allah mengetahui secara rinci apa yang mereka lakukan.” (Qs. Ali Imran [3]: 120).
Provokator Islamophobia
Sebuah laporan lengkap tentang jaringan provokator Islamophobia, yang dibuat oleh aktivis perjuangan hak-hak sipil Muslim Amerika, menyatakan bahwa kelompok anti-Islam ini menerima dana lebih dari $119 juta atau 1.3 trilyun rupiah lebih antara 2008-2011.
“Laporan ini menunjukkan kelompok-kelompok yang mempromosikan Islamophobia dalam masyarakat kita,” kata Corey Saylor, yang menjadi kepala departemen untuk memonitor dan melawan Islamophobia di Council on American-Islamic Relations (CAIR), yang berbasis di Washington.
Terdapat 37 organisasi yang menjadi pusat promosi Islamophobia selama 2011-2012 yang membentuk ‘jaringan inti’ Islamophobia yang berbasis di Amerika Serikat.
Sekitar 32 kelompok yang tujuan utamanya tidak memperlihatkan prasangka melawan atau membenci Islam dan Muslim, tetapi bekerja secara reguler menunjukkan dukungan terhadap tema-tema Islamophobia, yang membuatnya masuk kategori ‘jaringan luar’.
Selama periode dua tahun laporan tersebut, 78 rancangan UU “didesain untuk menjelekkan praktek agama Islam” diperkenalkan di 29 negara bagian dan Kongres.
Dari rancangan UU tersebut, 62 terkait legislasi yang diciptakan oleh David Yerushalmi dari The American Freedom Law Center, satu institusi yang masuk kategori ‘jaringan inti’ Islamophobia.
Bentuk-bentuk Islamophobia yang terjadi di Eropa akhir-akhir ini seperti pelarangan pemakaian cadar bagi Muslimah di Prancis. Kemudian diskriminasi terhadap pelaksanaan ibadah umat Muslim, termasuk mempersulit pendirian tempat ibadah atau masjid. Dan yang lebih spesifik, pemeriksaan ekstra ketat di setiap imigrasi transportasi darat, laut, dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Menyikapi hal ini, sebuah Konferensi Internasional tentang Islamophobia bertajuk: Hukum dan Media, pernah diselenggarakan pada 12-13 September 2013 di Grand Tarabya Hotel Istanbul. Konferensi ini digelar oleh Direktorat Jenderal Pers dan Informasi (BYEGM) Turki dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
“Islamophobia dianggap sebagai isu HAM, karena implikasinya pada intoleransi, pengucilan, dan diskriminasi, yang berujung pada kebencian dan kejahatan terhadap Muslim,” kata Direktur Jenderal BYEGM, Murat Karakaya.
Karakaya mengatakan bahwa hubungan antara Islamophobia dengan HAM dan hukum universal tampaknya menjadi hal penting untuk dikritisi.
Hasil konferensi ini menekankan bahwa media bertanggung jawab langsung atas penyebaran Islamophobia dan masalah-masalah sosial yang cenderung memicu kebencian ini.
“Representasi anti-Muslim melalui gambar dan bahasa yang digunakan oleh media visual, cetak, dan sosial memainkan peran yang efisien dalam menciptakan dampak sosial Islamophobia,” tambah Karakaya.
Di Indonesia, Islamophobia kian menggejala, bahkan cenderung meningkat, dilakukan secara sistematis dan cermat melalui agen-agen Kristen dan komunitas liberal. Setiap minggu dan bahkan setiap hari ada saja isu-isu negatif yang dihembuskan untuk mendiskreditkan Islam secara pelan-pelan, bergerombol, terstruktur dan terkadang menggunakan unsur fitnah yang jauh dari kebenaran, karena pembunuhan pun dilegalkan untuk menjadikan skenario sutradara seakan dramatis dan nyata bak adegan film perang.
Pada tahun 1990 seorang pendeta sekaligus musisi klasik kelahiran China tahun 1940 Táng Chóngróng, sekarang dikenal sebagai Pdt. Stephen Tong yang sudah berkewarganegaraan Indonesia, membaptis Li Bai alias James T. Riady seorang pebisnis kerajaan Lippo Group, anak Mochtar Riady (Li Moe Tie) menjadi pengikut Kristen Evangelis. Sejak itu Stephen Tong mendapat energi baru, tulang punggung pengembangan misionaris di Indonesia, karena Li Bai berjanji akan mempersembahkan bisnisnya untuk kepentingan misionaris.
Dalam wawancara majalah Fortune, 23 Juli 2003, James T. Riady menyampaikan visinya untuk mengkristenkan desa-desa miskin di Indonesia, dengan cara membangun sekolah-sekolah Kristen dengan biaya murah. Pernyataan James T. Riady ini mendapat reaksi keras dari umat Islam.
Menyebarkan agama atau mendakwahkannya adalah sebuah kebajikan bagi pengikut agama yang bersangkutan. Namun jika dilakukan dengan penipuan dan keculasan sebagaimana banyak kasus misionaris ditemukan di berbagai tempat di Indonesia, hal ini akan menjadi bagian perlawanan dari agama lain (Islam) dan memicu kerawanan SARA.
Bertahun-tahun Riady telah merancang bagaimana menjadikan bisnis sebagai lahan misionaris. Sepanjang karir dia menjalankan bisnis Lippo Group di Indonesia, tampaknya dia memang lebih mengutamakan misi Kristenisasi dari pada lainnya. Sampai sekarang, sudah 14 tahun impiannya membangun sekolah di desa-desa belum terwujud.
Bentuk lain dari Islamophobia disebarkan melalui buku. Beberapa waktu lalu beredar buku “Lima Kota Berpengaruh di Dunia” yang di dalamnya terdapat hujatan terhadap Rasulullah Saw. Buku ini menyadarkan kita bahwa Islamophobia memang riil dilakukan misionaris Kristen terjadi di Indonesia.
Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama berjudul “Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia” karangan Douglas Wilson asal Amerika Serikat itu memuat kata-kata yang melecehkan Islam. Dalam buku itu menyebutkan bahwa “Nabi Muhammad adalah perompak dan perampok yang memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan di Mekah.”
Pihak PT Gramedia Pustaka Utama, yang memang fundamentalis Kristen, menerbitkan buku itu sebanyak 3000 eksemplar. Setelah mendapatkan kritik keras dari masyarakat, buku itu ditarik dari peredaran dan sebagian dibakar dengan disaksikan perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun beberapa ratus eksemplar buku itu telah beredar di kalangan masyarakat.
Sejumlah wacana kebijakan yang sempat dikeluarkan rezim Presiden Joko Widodo dinilai cukup meresahkan umat Islam. Wacana tersebut juga mengindikasikan penggiringan negara agar menjadi semakin sekuler dan liberal. Upaya marginalisasi Islam secara konstitusional terus mengganggu.
Rezim Jokowi tidak ingin ada dominasi dari kelompok agama tertentu atas nama mayoritas. Terbukti dari beberapa wacana kebijakan seperti revisi peraturan pendirian rumah ibadah, pengosongan kolom agama di KTP, revisi tata tertib do’a di sekolah dan sebagainya. Gejala seperti ini mirip kasus yang pernah dialami Turki. Ketika sistem Khilafah Islamiyah yang sebelumnya berjaya, perlahan diruntuhkan oleh anasir-anasir sekularisme.
Menyikapi kenyataan ini, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf, berpendapat krisis anti-Islam yang muncul di sebagian kalangan di Eropa saat ini seiring kasus Charlie Hebdo tidak akan berpengaruh di Indonesia. Alasannya, hubungan antaragama di Indonesia sudah terbentuk sejak lama, bahkan sudah melewati berbagai tantangan.
“Hubungan umat di Indonesia memiliki semangat yang terbangun sejak lama. Antara Islam dan Kristen mempunyai semangat membangun dan harmonis. Isu teroris tidak bisa merasuki. Hanya isu-isu lokal yang mempunyai efek,” katanya.
Namun, pemerintah harus mengambil pelajaran dari peristiwa Charlie Hebdo. Hubungan antarumat beragama harus diiringi dengan menggunakan hak menyatakan pendapat yang tepat, menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar, yakni nilai agama. Menurutnya, peristiwa di Paris tidak akan membuat jaringan teroris di Indonesia semakin menguat. “Jika peristiwa ini memengaruhi terorisme global, itu benar. Tapi, masyarakat Indonesia tidak mudah terpengaruh jaringan teroris lokal,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutuk keras penyerangan di kantor majalah Charlie Hebdo, Paris, Prancis tersebut. Hal itu disampaikan Jokowi di sela-sela peninjauan ke PT Pindad di Bandung, Senin (12/1). “Mengutuk keras, kecaman, apa pun,” ucap Jokowi. Namun, ia juga mengingatkan, di balik kebebasan berekspresi, perlu juga rasa saling menghargai dan menghormati.
Peristiwa penembakan Charlie Hebdo di Paris, Prancis membuat ketegangan di antara umat beragama. Pencabutan UU anti penodaan agama, seperti dituntut kaum liberal maupun neo-komunis dengan maksud agar bebas mencerca agama dan melecehkan Nabi Saw seperti dilakukan Charlie Hebdo, dapat menjadi ancaman serius. Munculnya para pemuda pemberani melakukan apa yang telah dilakukan dua bersaudara Syarif dan Said, mengeksekusi mati kartunis di Paris, bukan hal mustahil.
Dampak Positif Islamophobia
Propaganda anti Islam yang dilancarkan oleh para pendeta Kristen dan jaringan intinya di seluruh dunia, merupakan indikasi kegagalan dan keputusasaan para misionaris itu. Islamophobia hanyalah salah satu indikasi kegagalan dan keputusasaan misionaris dan pengikut Paulus lainnya.
Anggota Dewan Islamic Cultural Center of New York dan asisten Imam Masjid Raya Manhattan-Amerika, M. Syamsi Ali, mencoba membuktikan kebenaran analisis gagalnya Kristenisasi itu. Melalui facebooknya, 13 Januari 2012, Syamsi Ali secara cermat memublikasikan fakta yang berkembang di tengah masyarakat Amerika.
Menurutnya, tragedi 11 September membuka peluang manis bagi warga Amerika Serikat untuk mengenal Islam lebih dekat. Dilandasi oleh motivasi yang berbeda-beda, masyarakat Amerika semakin mengenal Islam yang sesungguhnya. Islam, sebagaimana juga agama Kristen, diyakini oleh pemeluknya sebagai agama yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia.
“Di Amerika, gereja-gereja, sekolah, dan bahkan institusi pemerintahan sekalipun, membuka diri bagi para imam untuk memberikan ceramah tentang Islam. Sebaliknya, masjid juga semakin ramai dikunjungi oleh para non-Muslim,” tulisnya.
Lalu, ia menguraikan fakta, “Islamic Cultural Center of New York misalnya, menerima tidak kurang dari 15 kunjungan grup non-Muslim setiap bulannya. Dari kunjungan-kunjungan tersebut biasanya terbangun kontak pribadi antara imam dan anggota grup tadi, yang tidak jarang berakhir dengan mengikrarkan ‘Syahadah’. Di Islamic Cultural Center itu, untuk dua bulan terakhir ini misalnya, ada 17 orang yang menyatakan menerima Islam sebagai agamanya.
Belum lagi pendekatan-pendekatan pribadi para orang Islam di tempat kerja, sekolah, dan sebagainya. Sebagai catatan, hampir di semua universitas di Amerika, sekarang ini telah berdiri MSA (Muslim Student Association). Semua itu merupakan indikasi nyata akan perkembangan Islam yang sangat dahsyat di negara adi daya itu.
Hampir semua yang masuk Islam di sana, adalah karena sebuah kesadaran, bukan paksaan. Sekitar 70% di antara mereka memeluk Islam karena didahului oleh keragu-raguan terhadap agamanya sebelum menjadi Muslim.
Pada saat yang sama, propaganda-propaganda jahat terhadap Islam justru menjadi motivasi bagi mereka untuk memahami realita Islam yang sesungguhnya. Dan pada akhirnya, didukung oleh semangat kejujuran dan keterbukaan, mereka menerima Islam sebagai agama kebenaran. Kenyataannya, tidak jarang setelah menjadi Muslim, mereka justru lebih kuat dan kokoh dalam beragama ketimbang mereka yang ditakdirkan lahir sebagai Muslim.
Sebaliknya, misionaris Kristen datang ke berbagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas, penerimaan terhadap ajaran mereka tidak sebanding dengan penerimaan ajaran Islam di dunia non-Muslim. Belum pernah kita dengar misalnya, di suatu kampung warga Muslim masuk ke dalam agama lain secara berombongan, atau seorang Muslim secara terang-terangan menyatakan meninggalkan agama Islam dan memeluk agama yang baru.
Islam memberikan kebebasan kepada semua pemeluk agama untuk melakukan kewajiban-kewajibannya. Rasulullah Saw di Madinah tetap melestarikan sekolah-sekolah Yahudi, Midras, agar mereka mampu menjaga kelestarian agama mereka. Ketika utusan bangsa Najran, sebuah kota di Yaman ketika itu, mendatangi Rasulullah Saw untuk berdebat selama 3 hari dan 3 malam, beliau menerima mereka dan memberikan izin kepada mereka untuk tidur, makan, dan bahkan beribadah sesuai keyakinan mereka di dalam masjid. Bahkan Rasulullah Saw menegaskan:
“Barangasiapa yang menyakiti non-Muslim (dalam sebuah negara mayoritas Muslim), maka saya akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.”
Ketika umat Islam berkuasa di Spanyol, semua pemeluk agama, termasuk Kristen dan Yahudi, terlindungi hak-haknya. Tapi, ketika umat Kristen di bawah pimpinan Ratu Isabella kembali menaklukkan Spanyol, semua warga non-Kristen, termasuk Yahudi dan Muslim, dibasmi habis.
Akhir-akhir ini, sekelompok kecil dari agama tertentu dengan dukungan media massa, melakukan upaya-upaya pembunuhan karakter terhadap agama Islam. Islam digambarkan sebagai agama yang tidak mengajarkan moralitas dengan propaganda yang sistematis dan komprehensif.
“Tuduhan dan propaganda murahan yang dilakukan oleh para pendeta Evangelis di Amerika misalnya, merupakan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) sekaligus merupakan indikasi kegagalan dan keputusasaan mereka,” tegas Syamsi Ali.
Kecenderungan terhadap Islam tidak hanya terbatas di benua Eropa. Pada tahun 1970-an sekitar 100 ribu orang Muslim tinggal di AS, namun pada tahun 2008 meningkat beberapa kali lipat menjadi 9 juta orang. Padahal di negara itu gelombang propaganda Islamophobia mengalir deras sementara informasi mengenai Islam yang benar sangat terbatas.
Koran Australia, Sydney Morning Herald melaporkan bahwa, “Islam menembus batas-batas geografis dan melampaui aliran politik dan rezim di berbagai negara dunia. Ke depan, berbagai negara akan menyaksikan gerakan politik dan pertumbuhan Islam di dunia.”
Kedok Meraup Dollar
Selama masa reformasi, misionaris Kristen semakin agresif melancarkan aktivitas Kristenisasi. Bukan rahasia lagi, Presiden SBY dan Jokowi memperoleh bantuan dana besar dari mereka untuk meraih kekuasaan. Sebagai imbalannya, Kristen mendapatkan berbagai fasilitas, sekalipun orang Kristen juga merasa dikecewakan oleh SBY dengan banyaknya kasus kegagalan pendirian gereja.
Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk menekan Kementerian Agama agar menggolkan rancangan UU perlindungan umat beragama yang gagal dilakukan oleh Soeharto sejak 1967. Bahkan di masa-masa kejayaan Suharto, sekalipun tekanan Amerika dan Barat untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi misi Kristenisasi di Indonesia tidak mampu mendorong Suharto untuk menekan kaum Muslimin, menerima kesewenangan pendirian gereja dan sekolah Kristen di tengah perkampungan kaum Muslim.
Kenyataan ini membuat kaum Kristen merasa dipecundangi oleh penguasa beragama Islam di Indonesia. Sebagai reaksinya, pihak penyandang dana Kristenisasi di Indonesia, antara lain James Riady mencaplok kekayaan alam Indonesia untuk dieksploitir bagi keuntungan negara pendukung Kristenisasi.
Sesungguhnya agama Kristen telah ditinggalkan oleh masyarakat Kristen di Benua Eropa atau Amerika Utara. Lalu mereka mencari lahan baru sejalan dengan pencarian wilayah baru oleh kaum kapitalis dan kolonialis Barat setelah perang salib.
Para misionaris ini mendapatkan dana berjuta-juta dollar dari para kapitalis Barat dan umat Kristen yang telah menitipkan kewajiban melakukan ritual kepada para pendeta pengelola gereja. Para misionaris ini telah banyak melakukan kejahatan atas nama agama Kristen. Prilaku jahat para misionaris Kristen ini pernah diungkapkan sendiri oleh salah seorang pejabat tinggi pemerintah Ghana sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Khalil Ahmad.
Seorang pejabat tinggi Ghana itu berkata, “Setelah saya berfikir secara mendalam saya berkesimpulan dan mengambil keputusan untuk memutuskan segala bentuk dukungan dengan gereja. Gereja sebenarnya tidak pernah berusaha menolong menyelesaikan problem kerohanian yang menimpa negara Ghana. Gereja hanya mengutamakan mengeruk bantuan dana semata-mata dari pengikut Kristen di Ghana. Para pemuda kami ingin memperoleh solusi dalam menghadapi problem kerohanian.
Namun hal itu sama sekali tidak pernah mereka peroleh. Saya tidak pernah mampu mengajak para pemuda ini untuk kembali ke gereja guna mendengarkan ajaran-ajaran Kristiani, yang ternyata ajaran-ajaran tersebut tidak pernah diyakini oleh para misionaris itu sendiri (Jack Mandelson, Al-Rabb wa Allah wa Jojo, terjemahan Ibrahim Saad halaman 30)
Para misionaris ini ternyata mengingkari propagandanya sendiri. Negara-negara yang mengirimkan misionaris ke dunia ke tiga, sebenarnya negara-negara Atheis yang bertopeng Kristen. Hal ini dinyatakan oleh seorang tokoh Kristen bernama Leopold Weiss yang setelah masuk Islam mengganti namanya Muhammad Asad dalam bukunya yang berjudul “Al Islam fi Muftariqith Thariq” berkata:
“Mayoritas orang-orang Eropa, baik yang berpaham demokrasi, fasis, kapitalis, sosialis, businessman maupun kaum intelektual, agama mereka hanya satu, yaitu mengejar materi semata-mata. Gereja-gereja pada hakikatnya merupakan korporasi-korporasi besar, panggung sandiwara, laboratorium-laboratorium farmasi dan pentas kesenian pornoaksi. Para pastur pada hakikatnya adalah para manajer keuangan, sutradara, bintang film, dan industriawan.
Bahwa peradaban Barat tidak mengingkari kepercayaan terhadap adanya Tuhan secara radikal, memang benar. Namun mereka tidak pernah memberikan ruang keagungan Tuhan dalam pemikiran mereka. Bahkan mereka beranggapan tidak ada urgensinya memberi ruang tentang Tuhan dalam pemikiran mereka.”
Mr. Jude, Ketua jurusan filsafat dan psikologi London University menyatakan, “Saya pernah bertanya kepada 20 orang mahasiswa yang masih berusia remaja. Siapakah di antara mereka yang benar-benar masih setia kepada agama Kristen? Ternyata hanya tiga orang yang mengaku. Tujuh orang lainnya mengaku tidak pernah memikirkan masalah agama. Sepuluh orang lainnya lagi menyatakan benci kepada agama Kristen. Menurut saya untuk mengetahui perbandingan orang yang mengaku Kristen dan tidak di negeri Inggris ini tidaklah sulit. Dari gejala dan fenomena yang tampak, jelaslah bahwa masa depan gereja-gereja di Inggris akan terkubur.” (Madza Khasiral Alam bi Inkhiththatil Muslimin, halaman 191).
Dari pernyataan kedua tokoh di atas jelaslah negara-negara Kristen Eropa sendiri telah meninggalkan agama Kristen. Namun para misionaris Barat ini tanpa malu-malu mengajak manusia di dunia ketiga masuk agama Kristen. Seharusnya, bila akal dan hati mereka waras, mereka harus kembali ke negeri mereka untuk memperkuat agama Kristen di negerinya dan tidak membiarkan bangsa-bangsa Eropa hidup secara liar. Itu pun jika para misionaris ini meyakini benar-benar Kristen dapat menyelamatkan manusia Barat dari kehancurannya.
Kristenisasi di negara berkembang, seperti yang dilakukan Belanda di Indonesia, Inggris di India dan Perancis di beberapa negara Afrika tujuannya hanyalah untuk mengeruk dollar.
Misalnya, di India para misionaris ini ditunggangi oleh pengusaha dari negeri Switzerland. Mereka membangun pabrik-pabrik batu marmer dan usaha konveksi. Di Afrika para misionaris menampung anak-anak di sekolah-sekolah Kristen untuk dipekerjakan di ladang-ladang milik para pendeta di negeri tersebut.
Sedangkan di Mesir para misionaris memiliki 14 ribu hektar tanah. Setiap tahunnya tanah-tanah tersebut menghasilkan 1 juta poundsterling untuk setiap jenis produksi. Total pendapatan mereka di Mesir 4 juta poundsterling.
Para misionaris di negeri-negeri tersebut mendapatkan perlakuan istimewa dalam pajak atas barang-barang yang mereka impor dari luar negeri. Para misionaris berusaha merusak akidah umat Islam di negeri-negeri yang mereka datangi, sekalipun orang-orang ini tidak masuk agama Kristen. Mereka sudah merasa bangga bila orang-orang Islam jauh dari agamanya.
Seorang uskup Kristen bernama Chatily pernah berkata, bahwa kegiatan Kristenisasi di negara-negara Muslim memiliki dana yang sangat besar. Kegiatan mereka berfokus pada pelaksanaan kebijakan yang memberikan keuntungan besar bagi penyebaran paham Barat di tengah-tengah masyarakat Islam. (Al-Gharah, Umar Faruq, hal 8).
Pendeta Dr. Mery Kolimon dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), saat ini adalah pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dan juga Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur/JPIT untuk Studi Perempuan, Agama, dan Budaya, mengatakan terus terang.
“Praktik misi ternyata tercemari oleh motif ekonomi dan politik (gold, glory, and gospel). Seperti kata orang Afrika, ungkap Mery: “Ketika orang kulit putih datang, mereka membawa Alkitab dan kami punya tanah. Lalu mereka meminta kami berdoa. Setelah berdoa, kami mendapat Alkitab, mereka mendapatkan tanah kami.”
Tugas misionaris di negeri Islam tidaklah harus menjadikan orang-orang Islam percaya kepada ketuhanan Yesus, tetapi yang penting orang-orang Islam ini mau meninggalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan cara demikian mereka kelak akan menjadi Kristen tanpa disadari. Berikut ini pernyataan pendeta Astord:
“Orang-orang Islam tanpa disadari telah terperangkap ke dalam kebudayaan Kristen dan mengikuti pola pembinaan sosial Kristiani secara berangsung-angsur. Orang-orang Islam semacam ini akhirnya mau mengikuti doktrin-doktrin yang bersumber dari Injil, sehingga secara bertahap mereka akhirnya menjadikan Kristen sebagai rujukan. (Al Gharah, hlm. 72)
Demikianlah target sebenarnya yang dijalankan oleh misionaris Kristen di negara-negara berkembang. Mereka menjadikan umat Islam sebagai korban pemurtadan, obyek misionaris, bukan melaksanakan misi agama melainkan untuk mengeruk dolar dari negara-negara yang menjadi mitra mereka.
Wallahu’alam bish shawab…