Risalahmujahidin.com – Penumpasan PKI oleh umat Islam bersama TNI akibat pemberontakan G 30 S/PKI, 1965, kini direkayasa menjadi kasus pelanggaran HAM. Sejak Selasa (10/11/15) sampai Jumat (13/11/15), International People’s Tribunal atau pengadilan rakyat mulai digelar di Den Haag, Belanda.
Ada saja cara simpatisan PKI mencari sensasi. Gagal memperalat Presiden Jokowi menggunakan momentum peringatan HUT RI Agustus 2015, tak menyurutkan niat mereka menggugat pemerintah RI. Minim simpati dalam negeri, mereka menggunakan bantuan asing.
“Saat diskusi film Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Den Haag pada 22 Maret 2013, kami bersepakat akan memberikan tekanan internasional kepada pemerintah Indonesia,” ujar Nursyahbani Katjasungkana, koordinator sekretariat International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), pada peluncuran situs www.1965tribunal.org, di gedung Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta (17/12).
Tekanan internasional itu berupa Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), yang dilaksanakan pada 10 Nopember 2015 di Den Haag, Belanda, bertepatan dengan setengah abad peristiwa G30S/PKI, 1965.
Sejumlah aktivis HAM dan LSM simpatisan PKI melaksanakan persidangan korban ’65 di Den Haag, Belanda. Mereka menuntut permintaan maaf dari pemerintah atas insiden ’65 lalu di mana ada pembersihan mereka yang tersangkut PKI.
Mereka menyebutnya Pengadilan Rakyat Internasional, atau International People’s Tribunal (IPT), untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015.
Siapa penggagasnya? IPT digagas pada 2013 oleh simpatisan pemberontakan PKI 1965, baik mereka yang berada di pengasingan maupun di Tanah Air. Penggagas lainnya termasuk juga aktivis hak asasi manusia, intelektual, seniman, jurnalis, akademisi, dan lainnya.
Gugatan ditujukan kepada pemerintah Indonesia, secara khusus militer di bawah komando Jenderal Suharto, yang kemudian menjadi presiden RI.
Persidangan selama empat hari itu membahas sejumlah agenda yang sudah direkayasa. Yaitu, tentang pembantaian massal dan perbudakan, penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Kemudian tentang pengasingan atau eksil, penghilangan paksa, dan propaganda kebencian. Pengadilan juga, kabarnya membahas tentang keterlibatan negara lain.
Ada tujuh hakim yang menyidangkan kasus ini, antara lain Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob.
Adapun jaksa Silke Studzinsky, seorang penasihat hukum untuk korban di Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag sejak 2013 hingga sekarang. Sebelumnya pada 2008-2012, ia bekerja di Deutsche Gesellschaft für internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Kamboja sebagai pengacara sipil di Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) dan senior advisor untuk Pengadilan Kamboja Hak Asasi Manusia dan Bantuan Hukum Kamboja.
Sedangkan jaksa lainnya berasal dari Indonesia, ada 6 orang. Menurut situs 1965 Tribunal, selain Silke Studzinsky, satu-satunya jaksa asing, ada nama pengacara asal Indonesia yang bertindak sebagai penuntut. Yaitu, Todung Mulya Lubis, Agustinus Agung Wijaya, Sri Suparyati, Antarini Arna, Uli Parulian Sihombing, dan Bahrain Makmun.
Kebodohan Sejarah
Guru Besar Universitas Indonesia Prof Anhar Gonggong mengatakan, digelarnya pengadilan kasus 1965 di Den Haag merupakan kebodohan sejarah. Untuk itu, bila ada orang Indnesia yang ikut serta dalam pengadilan tersebut maka dia jelas bukan nasionalis.
“Apa kita mau diajari soal HAM oleh negara yang melakukan pelanggaran HAM. Kita semua tahu berapa banyak rakyat kita yang dijadikan korban semasa Belanda menjajah Indonesia. Satu contoh saja, bagaimana soal pembantaian 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan yang dilakukan Westerling itu. Mengapa mereka yang di Den Haag diam dan seolah tidak ada apa-apa. Pengadian HAM kasus 1965 di Denhaag itu jelas merupakan kebodohan sejarah,’’ kata Anhar Gonggong, seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (11/11).
Anhar mengatakan, fakta sejarah pun telah menyatakan perbuatan pelanggaran HAM yang serius, seperti pembunuhan, juga dilakukan oleh aktivis PKI pada periode 1960-1965. Kaum komunis pada saat itu juga tercatat terus memprovokasi bangsa ini, khususnya umat Islam, seperti pembubaran organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, hendak mengambil tanah milik pesantren, dan berbagai aksi sepihak lainnya. “Sejarah mencatatnya. Kita semua tahu, tapi apakah yang menggelar pengadilan di Den Haag mau tahu,’’ ujarnya.
Menurut Anhar, harus disadari dengan sebaik-baiknya bahwa penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM terkait peristiwa sekitar 1965 dipastikan tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, hanya akan menimbulkan persoalan baru dan perpecahan antarmasyarakat kembali terjadi.
“Tidak ada sejarahnya pengadilan HAM akan menyelesaikan masalah. Tidak ada itu, maka pahamilah sejarah dengan baik. Jadi, sekali lagi, jangan lakukan kebodohan sejarah,’’ tegas Anhar Gonggong.
Senada dengan itu, Saharuddin Daming, salah seorang anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menyampaikan kritik kerasnya terhadap pemaparan Tim Adhoc Komnas HAM tentang Hasil Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Dalam Peristiwa 1965. Dimana disini kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparatur negara.
“Saya sangat prihatin dan menyesalkan prakarsa dan niat baik Tim untuk mengungkap sejarah hitam yang melingkupi peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965. Upaya tersebut saya nilai tidak adil, tidak proporsional, dan sangat linier,” jelasnya seperti diberitakan Hidayatullah.com pada hari Selasa, (10/07/2012).
Menurut Daming, mengapa hanya PKI yang merasa jadi korban pelanggaran HAM. Bukankah PKI juga melakukan penculikan, pembunuhan dan penyiksaan para Jenderal, pembantaian Umat Islam di Madiun dan pelecehan agama dengan pembakaran-pembakaran Al-Qur’an? Bukan hanya itu saja, PKI bahkan berusaha melakukan makar terhadap Negara dengan ingin merubah konstitusi Negara berdasarkan komunisme.
“Hal ini berpotensi menimbulkan persangkaan negatif dari publik yang menilai Komnas HAM hanya melindungi korban pelanggaran HAM berat dari kalangan PKI dan simpatisannya saja,” jelas laki-laki kelahiran Pare-pare Sulawesi selatan 42 tahun yang lalu ini.
Bubarkan Komnas HAM
Sementara itu, mantan Danjen Kopassus, Mayjen TNI (purn) Muchdi Purwoprandjono meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak mendengar sepihak terkait korban G30S PKI. Muchdi mengaku kecewa dengan sikap Komnas HAM yang cenderung berpihak kepada PKI dan tidak mendengar pandangan dari kelompok anti-komunis.
Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono (Muchdi PR) menyebutkan bahwa aktor utama yang membisikkan presiden untuk meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Karena itu, Muchdi yang juga sebagai saksi hidup dari peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September PKI (G-30S/PKI) itu meminta masyarakat supaya Komnas HAM dibubarkan.
“Saya beri apresiasi pernyataan Presiden bahwa dia tidak akan pernah memaafkan PKI, itu harus kita kawal dan kita dukung jangan sampai ada orang-orang di sampingnya membisikkan supaya memaafkan PKI,“ ujar Muchdi saat melakukan orasi dalam acara Ziarah dan Do’a bersama memperingati pengkhianatan PKI terhadap NKRI di Lubang Buaya, Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur, Kamis (01/10/2015).
Muchdi menambahkan Komnas HAM-lah yang memberikan data seolah-olah yang menjadi korban adalah orang-orang PKI. Padahal, itu hanyalah segelintir saja dibandingkan dengan korban seperti para ulama dan kyai, yang dibunuh secara keji dan biadab.
Menurut Muchdi, opini yang menyebar di masyarakat sekarang ini adalah seolah-olah PKI adalah korban dari peristiwa G-30S/PKI 1965. Padahal, justru umat Islamlah yang menjadi korban dari keganasan partai palu arit tersebut.
“Maka sebaliknya saya bertanya, apakah umat Islam saat itu tidak menjadi korban? Kalau saja PKI saat itu menang, mungkin saya sudah tidak ada di bumi ini,” ungkap Muchdi.
Muchdi mengaku kecewa dengan sikap Komnas HAM yang cenderung berpihak kepada PKI dan tidak mendengar pandangan dari kelompok anti-komunis.
“Makanya, saya bersama teman-teman mendesak Komnas HAM bersikap adil. Jangan hanya mendengar satu pihak saja. Kalau memang Komnas HAM mendukung PKI, maka bubarkan saja Komnas HAM,“ tandasnya. []