Allah SWT berfirman:
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَبْلِهِم مِّن قَرْنٍ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّن لَّكُمْ وَأَرْسَلْنَا السَّمَاءَ عَلَيْهِم مِّدْرَارًا وَجَعَلْنَا الْأَنْهَارَ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُم بِذُنُوبِهِمْ وَأَنشَأْنَا مِن بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ
“Apakah orang-orang kafir Quraisy tidak mau memikirkan berapa banyak generasi yang kafir sebelum mereka telah Kami binasakan? Wahai kaum kafir Quraisy, kalian belum pernah Kami beri kekuasaan seperti mereka, padahal generasi-generasi kafir dahulu telah Kami berikan kekuasaan di muka bumi. Kami kirim hujan lebat dari langit kepada mereka, dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka. Tetapi mereka tidak mau bersyukur kepada Allah, karena itu Kami binasakan mereka. Kemudian Kami ciptakan generasi baru yang beriman kepada Rasul Kami untuk menggantikan mereka.” (Qs. Al-An’am [6]: 6)
Apakah mereka tidak memperhatikan kebinasaan generasi-generasi sebelumnya? Mereka telah diberi kedudukan oleh Allah di atas muka bumi. Mereka diberikan faktor-faktor kekuatan dan kekuasaan yang belum pernah diberikan kepada komunitas dari kalangan Quraisy di Jazirah Arab itu. Kepada mereka juga dikirimkan hujan yang teratur, sehingga suburlah tanah mereka, dan bertumbuhanlah pelbagai tanaman sehingga rezeki mereka melimpah.
Namun, kemudian mereka bermaksiat kepada Rabb mereka. Sehingga, Allah menghukum dan membinasakan mereka karena dosa-dosanya. Kemudian dilahirkan generasi baru sesudah mereka dan mewariskan bumi ini kepada mereka. Sedangkan, generasi yang ingkar kepada Allah itu punah begitu saja tanpa bekas, tanpa dipedulikan oleh bumi. Bumi ini pun telah diwarisi oleh generasi yang lain. Maka, alangkah tidak berharganya orang-orang yang menolak dakwah Islam, yang pada suatu ketika memiliki kekuatan dan kekuasaan di muka bumi, tapi kemudian kerusakan dan berbuat kemungkaran. Alangkah kecilnya nyali mereka di hadapan Allah, dan sungguh eksistensi mereka tidak berkualitas sama sekali bagi kelangsungan bumi ini.
Mereka binasa dan lenyap dari muka bumi tanpa disesali kemusnahannya sedikitpun. Sebaliknya, bumi ini kemudian diramaikan oleh generasi baru, dan bumi pun berputar di porosnya seperti biasa, tanpa menunjukkan seakan-akan sebelumnya ada penduduk lain yang tinggal di atasnya. Kehidupan pun berjalan seperti biasanya, seakan-akan sebelumnya tidak ada kehidupan yang diisi oleh para pendusta itu.
Ini adalah hakikat yang dilupakan oleh manusia ketika mereka diberikan kedudukan di atas muka bumi oleh Allah. Mereka melupakan bahwa kedudukan ini hanya terwujud berkat kehendak Allah semata, yang tujuannya adalah untuk menguji mereka dengan kedudukan itu. Apakah mereka kemudian menunaikan janji mereka kepada Allah dan syarat-syarat-Nya atas kekuasaan itu, berupa mewujudkan ubudiyah hanya kepada-Nya saja, dan menerima petunjuk hanya dari-Nya saja. Karena Allah pemilik kekuasaan yang sebenarnya, sedangkan manusia hanyalah orang-orang yang diberikan istikhlaf, orang-orang yang terpilih sebagai wakil atas kekuasaan itu. Ataukah mereka menjadikan diri mereka sebagai thaghut yang mengklaim punya hak-hak dan privilege uluhiyah? Sehingga memperlakukan kekuasaan yang diberikan kepadanya itu sebagai miliknya, bukan sebagai wakil yang ditunjuk untuk memegangnya sementara.
Ini adalah hakikat yang amat sering dilupakan oleh manusia, kecuali mereka yang dijaga oleh Allah. Sehingga, mereka akhirnya menyimpang dari janji mereka kepada Allah, menyelewengkan prosedur dalam memegang kekuasaan itu, dan berjalan bukan dengan tuntunan ajaran-Nya.
Pada awalnya mereka tidak menyaksikan bahaya besar akibat penyelewengan mereka itu. Kemudian kerusakan sedikit demi sedikit, sambil mereka tenggelam tanpa mereka sadari. Hingga sampailah mereka pada ujung perjalanan hidup mereka. Di situlah Allah menimpakan azab yang telah dijanjikan.
Nasib akhir bangsa-bangsa yang berbuat seperti itu, bentuknya berbeda-beda. Terkadang mereka diberikan azab dengan dimusnahkan secara tuntas. Yaitu, mereka diberikan azab dari atas mereka atau dari bawah mereka seperti yang terjadi pada banyak bangsa. Terkadang mereka diazab dengan berkurangnya usia, dan terus berkurangnya penduduk dan hasil buah-buahan mereka, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa. Terkadang mereka juga dijerumuskan ke dalam jurang pertempuran yang mengakibatkan mereka berbenturan dan saling bunuh. Sehingga di antara mereka sendiri saling memberikan kesulitan, kehancuran, dan kesakitan kepada yang lain. Mereka tidak pernah lagi memberikan keamanan satu sama lain.
Akhirnya, mereka menjadi lemah. Kemudian Allah menggerakkan hamba-hamba-Nya, yang taat atau tidak, untuk menghabisi kekuatan mereka dan mencabut kekuasaan yang selama ini mereka nikmati.
Setelah itu Allah memberikan ikhtisaf, pencerahan kepada hamba-hambanya yang baru, untuk Dia berikan mereka cobaan atas kekuasaan yang diberikan kepada mereka. Seperti itulah mengalir kehidupan yang Allah gariskan. Orang-orang yang berbahagia ialah orang-orang yang menyadari bahwa itu adalah kehidupan yang sudah digariskan oleh Allah dan semua itu adalah cobaan dari-Nya. Sehingga dia pun menunaikan hak-hak kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Sedangkan orang-orang yang celaka adalah mereka yang melalaikan hakikat ini, dan menyangka semua itu diberikan kepada mereka karena kepintaran mereka, tipu dayanya, atau karena kebetulan nasib baiknya saja, tanpa ada rencana Allah, Pemilik kekuasaan itu yang sebenarnya.
Tapi yang membuat banyak orang tertipu adalah ketika mereka menyaksikan banyak pejabat pemerintah yang korup dan otoriter, atau orang yang senang berbuat maksiat, atau orang ateis yang kafir, namun mereka memiliki kedudukan di muka bumi ini. Juga terlihat mereka belum pernah mendapatkan balasan buruk dari Allah. Pada hakikatnya, orang yang berpendapat seperti itu jelas bersikap tergesa-gesa. Karena mereka melihat orang-orang itu baru pada awal atau pertengahan perjalanan mereka saja, dan tidak menyaksikan bagaimana akhir perjalanan mereka. Sedangkan akhir perjalanan itu tidak dapat dilihat kecuali jika akhir perjalanan itu sudah tiba.
Apa yang dapat mereka lihat saat ini adalah nasib akhir kehidupan orang-orang yang telah lampau, yang saat ini hanya menjadi catatan sejarah. Al-Qur`an mengarahkan manusia untuk melihat nasib akhir kehidupan orang-orang yang telah lampau itu. Sehingga orang-orang yang tertipu dan tidak melihat alam kehidupan pribadi mereka yang singkat, di akhir perjalanan mereka itu menjadi tersadarkan dari ketertipuan persepsi. Mereka selama ini tertipu oleh apa yang dilihat dalam kehidupannya yang pendek, dan menyangka hal itu sebagai akhir perjalanan.
Akibat Perbuatan Dosa
Nash Al-Qur`an ayat 6 ini, “Kemudian kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri” dan ayat sejenis, yang banyak terulang dalam Al-Qur`an hanyalah bertujuan untuk menunjukkan fakta, hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan semesta. Juga merupakan satu dimensi dari penafsiran Islam terhadap kejadian-kejadian sejarah.
Ayat ini menunjukkan fakta bahwa perbuatan-perbuatan dosa akan membinasakan pelakunya sendiri. Allah-lah yang akan membinasakan orang-orang yang berdosa itu dengan dosa mereka sendiri. Ini adalah hukum Allah yang berlangsung dalam kehidupan semesta meskipun tidak terlihat oleh seseorang dalam umurnya yang pendek, atau suatu generasi dalam rentang waktu kehidupannya yang singkat. Ia adalah hukum yang secara pasti berlangsung dan dialami oleh bangsa-bangsa, ketika perbuatan dosa telah menjadi sesuatu yang biasa pada diri mereka, dan ketika hidupnya diisi dengan perbuatan dosa.
Selain itu ia adalah satu segi dari penafsiran Islam terhadap sejarah bahwa kehancuran generasi dan digantikannya satu generasi dengan generasi lain, di antara faktor yang menyebabkannya satu generasi dengan generasi lain, di antara faktor yang menyebabkannya adalah perbuatan dosa dalam diri bangsa/umat tersebut. Pengaruh dosa dalam diri bangsa tersebut akan membawanya kepada kebinasaan. Hal itu terjadi dapat berupa azab langsung dari Allah seperti yang terjadi dalam sejarah bangsa masa lampau, atau dengan pergeseran gradual dan alami yang terjadi dalam tubuh bangsa itu sepanjang masa ketika mereka tenggelam dalam perbuatan dosa!
Di hadapan kita terpampang sejarah yang belum lama berselang. Sejarah yang dapat menjadi bukti yang mencukupi tentang pengaruh buruk keruntuhan akhlak, prostitusi yang mewabah, serta penggunaan wanita sebagai alat perdagangan, perangsang syahwat, perangkat hidup berfoya-foya, dan sebagai alat kesenangan. Di hadapan kita terpampang banyak bukti yang mencukupi tentang bagaimana pengaruh semua itu dalam keruntuhan bangsa Yunani dan Romawi yang telah menjadi catatan sejarah. Juga keruntuhan yang tampak jelas tanda-tandanya, dan sudah hampir membunyikan lonceng akhir kematian bangsa-bangsa di era modern ini, seperti Perancis dan Inggris, meskipun mereka memiliki kekuatan dan kekayaan yang demikian besar!
Kaum materialisme akan membuang segi ini sama sekali dari penafsirannya terhadap perkembangan bangsa-bangsa dan kejadian sejarah. Karena teori mereka diawali dengan penghilangan unsur akhlak dalam kehidupan dan konsep keimanan yang dipeluk oleh penduduknya. Tapi tafsir materialis ini pada akhirnya terpaksa membuat cerita yang menggelikan dalam menafsirkan kejadian dan perkembangan dalam kehidupan manusia, yang tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan menggunakan dasar konsep keimanan.
Penafsiran Islami terhadap realitas sejarah, tidak mengabaikan unsur material yang oleh penafsiran materialis dijadikan sebagai “segalanya”. Namun, ia memberikan tempat yang sebenarnya, dalam perkembangan kehidupan yang luas ini. Kemudian menunjukkan unsur aktif lain yang tidak diingkari kecuali oleh orang yang keras kepala. Yaitu, menunjukkan kekuasaan Allah yang berperan dalam setiap kejadian dan menunjukkan perubahan internal dalam nurani, perasaan, kepercayaan dan konsep pandangan manusia. Juga menunjukkan pengaruh tingkah laku manusia dan akhlak mereka dalam perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini. Penafsiran Islami tidak melupakan satu unsur pun dari segenap unsur yang mempengaruhi kehidupan ini, seperti yang telah diatur oleh hukum Allah yang berlaku di alam semesta ini.[]