Toleransi Islam Terhadap Non Islam

Oleh: Al-Ustadz Muhammad Thalib

TELAH BERLALU zaman ketika kaum Muslimin pernah menjadi pihak yang menang, kemudian memerintah kaum Nasrani dan Yahudi secara adil. Dalam sejarah, kita belum pernah mengenal kebijaksanaan seperti yang pernah dilakukan pemerintahan Islam pada masa dahulu, yaitu kebijaksanaan yang didasarkan pada syariat Islam.

Demikianlah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab RA pada masa awal pemerintahannya. Ia mengutus Ya’laa bin Umayyah ke Najran untuk memindahkan kaum Nasrani dari negeri itu. Alasannya, karena Rasulullah SAW telah bersabda:

لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ

Di Jazirah Arabia jangan sampai ada dua agama berkumpul (di satu tempat).

Kaum Muslimin hendak menjadikan Jazirah Arabia sebagai benteng pertahanan, dan basis pendidikan para dai dan kader Mujahid Islam. Karena itu tidak dikehendaki adanya percampuran mereka dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mengingat agama merupakan prinsip yang sangat sensitif, maka Khalifah Umar memerintahkan kaum Nasrani di Najran supaya meninggalkan negeri itu. Akan tetapi mereka tidak diperintahkan keluar dari Najran begitu saja. Mereka diberi daerah pemukiman lain yang lebih baik, bahkan mereka dipersilakan memilih daerah mana saja yang mereka sukai selain Jazirah Arabia.

Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW tidak pernah memaksa kaum Nasrani memeluk agama Islam, mereka dibiarkan bertahan pada agamanya. Hal itu merupakan pengamalan dari firman Allah SWT, yang menegaskan:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ

“Tidak boleh seseorang dipaksa untuk masuk agama Islam…” (QS. Al-Baqarah, 2: 256)

Mereka diajak berdamai atas dasar perjanjian membayar sejumlah uang (jizyah) tiap tahun sebagai imbalan atas perlindungan dan jaminan keselamatan jiwa dan harta benda mereka. Syaratnya, mereka tidak boleh mengonsumsi makanan hasil riba dan menghentikan segala bentuk usaha uang riba.

Fakta Toleransi Islam

Sepeninggal Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar RA membiarkan kaum Nasrani di Najran berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Rasul Allah SAW. Beberapa saat sebelum wafat, Khalifah Abu Bakar mewasiatkan Umar bin Khaththab supaya memindahkan kaum Nasrani Najran, karena mereka melanggar perjanjian dengan bekerja melepas uang riba.

Setelah Umar dibaiat sebagai Khalifah kedua, program pertama pemerintahannya adalah memindahkan kaum Nasrani Najran ke daerah lain, seperti yang diwasiatkan Khalifah sebelumnya, Abu Bakar Shiddiq. Ia memerintahkan pegawainya melaksanakan keputusan itu dengan perintah supaya memperlakukan mereka dengan santun, membayar harga kekayaan mereka yang ditinggalkan dan mempersilakan mereka memilih negeri Islam mana yang mereka inginkan sebagai tempat tinggal yang baru.

Kepada pegawai tersebut Khalifah Umar antara lain berpesan: “Datangilah mereka dan jangan sekali-kali engkau mengganggu agama mereka. Pindahkanlah setiap penduduk Nasrani yang masih tetap pada agamanya, dan biarkan yang Muslim tetap tinggal. Bayarlah harga tanah yang mereka tinggalkan, kemudian persilakan mereka memilih negeri mana yang mereka sukai. Beritahukan mereka bahwa kami memindahkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya.”

Terhadap mereka yang pindah, Umar membekali sepucuk surat yang isinya sebagai berikut:

Amma ba’du, siapa saja dari penduduk Syam dan Irak yang didatangi para imigran Nasrani hendaknya mereka diberi keleluasaan untuk mengolah tanah lahan. Apa yang mereka bawa adalah hak milik mereka (yakni tidak boleh diganggu-gugat). Mereka berasal dari Yaman, sebagian dari mereka hendak tinggal di Syam dan sebagian yang lain hendak tinggal di sekitar Kufah.”

Pada zaman pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, kaum Nasrani mengadu kepadanya atas tanah garapan yang semakin sempit disebabkan oleh semakin banyaknya penduduk. Atas pengaduan tersebut Khalifah Utsman menulis surat kepada penguasa daerah Kufah, memerintahkan supaya mengurangi dua ratus potong pakaian dari kewajiban pajak yang menjadi tanggungan mereka. Sebelum itu mereka diwajibkan membayar pajak, sebagiannya dalam bentuk pakaian.

Ketika zaman Mu’awiyah berkuasa mereka mengeluhkan tentang kondisi mereka yang sudah terpencar-pencar, banyak yang telah meninggal dunia dan banyak pula yang telah memeluk Islam. Oleh karena itu, mereka diberi pengurangan dua ratus potong pakaian lagi. Ketika Al-Hajjaj berkuasa di Kufah mereka dikenakan kembali kewajiban seperti semula.

Namun pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz mereka mengadukan kepadanya kezaliman Al-Hajjaj dan keadaan mereka yang serba kekurangan.  Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya supaya menghitung jumlah mereka, ternyata tinggal sepersepuluh. Akhirnya diputuskan mereka hanya dikenakan kewajiban menyetor dua ratus potong pakaian saja. Pada zaman Harun Ar-Rasyid mereka mengadu lagi kepadanya atas perbuatan beberapa orang pegawainya. Harun Ar-Rasyid memerintahkan supaya mereka tidak diharuskan berhubungan dengan pegawai, tetapi berhubungan langsung dengan Baitul-Mal di ibu kota (Baghdad).

Dari fakta-fakta sejarah tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa para khalifah yang memerintah kaum Muslimin tidak pernah memaksa seorang pun untuk memeluk agama Islam. Mereka membiarkan setiap orang berpegang pada agamanya. Kaum Nasrani hanya diminta supaya tetap setia kepada perjanjian yang telah dibuatnya, kemudian sebagai imbalannya para khalifah menjamin perlindungan bagi keselamatan mereka, menjamin ketenangan hidup mereka dan mencegah setiap kezaliman terhadap mereka. Pernahkah ada perlakuan yang lebih baik dari itu yang dilakukan penguasa non-Islam terhadap orang-orang yang tidak seagama atau tidak seideologi?

Sejarah membuktikan, ketika balatentara Tatar (Mongol) menyerbu negeri-negeri Islam banyak sekali kaum Muslimin, kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang jatuh ke tangan mereka sebagai tawanan. Kemudian keadaan berbalik, pangeran-pangeran Mongol memeluk Islam. Ketika itu seorang Syaikhul Islam minta kepada pangeran Tatar supaya membebaskan para tawanan perang. Permintaan itu dipenuhi oleh Pangeran Tatar supaya membebaskan tawanan perang yang beragama Islam, dan tidak mau membebaskan tawanan perang ahlu dzimmah (orang-orang Nasrani dan Yahudi).

Syaikhul Islam tersebut berkata lagi mendesak: “Mereka dibebaskan karena mereka itu orang-orang yang berada di bawah tanggungan kami….” Akhirnya mereka dibebaskan.

Khalifah Umar bin Khaththab dalam suratnya yang dikirimkan kepada kepala daerah Mesir, Amr bin al-Ash antara lain mengatakan:

“Engkau bertanggung jawab atas perjanjian orang-orang ahludz-dzimmah. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW telah meninggalkan wasiat mengenai mereka itu. Mengenai orang Qibth (Mesir) beliau berpesan:

“Hendaklah kalian memperlakukan orang-orang Qibth dengan baik, karena mereka mempunyai perjanjian dan hubungan persaudaraan dengan kami.” Beliau juga telah bersabda: Barang siapa berlaku zalim terhadap rekan dalam perjanjian atau membebani sesuatu kepadanya yang berada di luar kesanggupannya, pada hari kiamat kelak akulah yang menggugatnya. Karena itu, engkau hai Amr, hendaknya selalu berhati-hati jangan sampai digugat oleh Rasulullah SAW, karena siapa yang digugat oleh beliau ia adalah musuh beliau.”

Wasiat terakhir yang ditulis Umar Ibnul-Khaththab untuk orang yang akan meneruskan kekhalifahannya antara lain berbunyi:

“Kepadanya kuwasiatkan supaya berlaku baik terhadap ahludz-dzimmatillah dan dzimmati Muhammad SAW (yakni orang-orang Nasrani dan Yahudi ahludz-dzimmah). Hendaknya ia memenuhi perjanjian dengan mereka, tidak membebani mereka dengan sesuatu yang berada di luar kesanggupan mereka dan jangan menyerang mereka secara diam-diam.”

Memang benar, bahwa ada beberapa orang Yahudi dan Nasrani yang diperlakukan secara zalim oleh sementara khalifah dan penguasa. Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang Turki terhadap mereka ketika Ottoman melancarkan gerakan perluasan wilayah ke Eropa. Akan tetapi jumlah mereka yang diperlakukan secara zalim itu tidak banyak, itu di satu pihak. Sedang di pihak lain menurut kenyataan, kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa itu ditujukan pula kepada kaum Muslimin dan kaum Nasrani bersama-sama. Betapa banyak jumlah kaum Muslimin yang menderita akibat kezaliman yang dilakukan oleh sementara penguasa dan kepala-kepala daerah!

Betapapun kondisinya, kita masih dapat bertanya: Adakah kezaliman yang lebih hebat daripada kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Spanyol terhadap kaum Muslimin di Andalusia; yang memaksa mereka meninggalkan agama Islam, mengusir mereka dan merampas kekayaan, harta benda dan pusaka kebudayaan mereka serta menumpahkan darah mereka hingga dalam waktu beberapa tahun saja tidak ada lagi sisa-sisa kaum Muslimin di negeri itu? Bukankah setelah itu peradaban orang-orang Spanyol mengalami kemerosotan? Bagaimanakah sikap para penguasa Eropa terhadap kaum Muslimin pada abad belakangan ini? Masih banyak lagi kezaliman orang-orang Eropa yang dapat kami sebutkan.

Benarlah, bahwa jauh sekali perbedaan antara perlakuan kaum Muslimin terhadap kaum Nasrani, dan perlakuan kaum Nasrani terhadap kaum Muslimin. Hingga zaman kita dewasa ini pun kaum Muslimin yang hidup di tengah-tengah kaum Nasrani tidak dapat menikmati ketenteraman seperti yang dinikmati oleh kaum Nasrani dan Yahudi yang hidup di tengah-tengah kaum Muslimin.

Namun demikian kita masih tetap berharap agar orang-orang Eropa mau berpikir sehat. Kemudian secara fair mewujudkan dalam kenyataan prinsip-prinsip kemerdekaan, slogan persaudaraan dan persamaan yang selama ini mereka teriakkan. []

Risalah Mujahidin Edisi 39

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top