Gagasan Qiraat Nusantara Upaya Menyusupkan Paham Kemal Ataturk

Risalah Mujahidin – Alunan suara tilawah ayat-ayat suci Al-Qur`an itu terasa asing di telinga, bahkan untuk orang Indonesia, juga umumnya bagi orang Jawa sekalipun. Tak terbayangkan bagaimana telinga pendengaran para duta besar dari negara-negara Timur Tengah. Tak mengherankan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid tampak mengernyitkan dahi, seakan sulit mencerna dengan hati dan perasaan bahkan sebagai santri asal Klaten yang lama belajar di Arab. Sementara Presiden Jokowi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bin Saifuddin Zuhri tampak khusyuk mendengarkan.

Inilah pemandangan yang tidak biasa pada acara peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada Jumat kalender 15 Mei 2015 lalu. Adalah qari terkenal Muhammad Yasser Arafat, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang membaca Al-Qur`an Surat An-Najm ayat 1-5 dengan langgam Jawa. Ada yang menyebutnya sebagai bacaan dengan langgam Dandanggulo. Tapi sesungguhnya juga amat terasa bahwa Yasser tampak memaksakan diri atau terpaksa melanggamkan ayat-ayat Ilahi itu, terlihat dari cara melanggamkannya yang sering kali tidak masuk dan kurang nyambung laiknya melantunkan langgam Al-Qur`an.

Boleh jadi bacaan tajwid dan mahrajnya benar, tetapi dengan kelak-kelok yang cengkok dan pakemnya tidak masuk alias fals, sehingga yang terdengar justru lemah pada penguasaan langgamnya. Maka tak mengherankan Hidayat Nurwahid berupaya keras coba memahaminya hingga mengernyitkan dahi, bacaan ayat suci Al-Qur`an yang dilanggamkan.

Gambaran di video YouTube tentu lebih beragam. Tampak wajah-wajah yang terheran-heran kendatipun Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kelihatan khusyuk mencerna dan menikmati alunan langgam suara Yasser Arafat. Karena memang ini bukan kali yang pertama. Sebelumnya, seperti kata Lukman Hakim Saifuddin, yang mengaku sebagai menteri untuk semua agama, bacaan ayat suci Al-Qur`an dengan langgam Jawa juga sudah dipertunjukkan di Istana Wakil Presiden Yusuf Kalla pada penutupan Musabaqah Tilawatil Qur`an Asia Pasifik. Dan Lukman Hakim memang sebelumnya telah meminta agar masyarakat menggali langsung model bacaan atau lagu Nusantara untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur`an.

Pelantun Qur`an dengan langgam kelas Istana, Yasser Arafat, mengaku kedatangannya ke Jakarta untuk membaca Al-Qur`an dengan langgam Jawa pada Peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara atas perintah Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.

“Itu disuruh Menteri Agama untuk menggunakan langgam Jawa. Saya nggak akan ke Jakarta kalau tidak disuruh Pak Menteri,” ujar Yaser Arafat kepada ROL (Republika OnLine), pada Senin (18/5).

Yasser mengaku mengetahui bahwa ‘langgamnya’ telah memunculkan kontroversi di masyarakat. Namun ia tidak mempermasalahkan. Menurut Yaser, kontroversi tersebut tidak akan berpengaruh apapun terhadap dirinya, karena pelantunan seperti itu bukan hal baru.

Kontroversial

Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara, Jakarta pada Jumat 26 Rajab 1436 bertepatan dengan 15 Mei 2015 M,itu pun menyisakan kontroversi. Pangkal masalah yang memancing kontroversi, tentu saja penggunaan langgam Jawa dalam pembacaan ayat suci Al-Qur`an oleh Qari Muhammad Yasser Arafat itu.

Dengan menggunakan langgam Jawa, pembacaan ayat suci tersebut menjadi mirip sinden dalam pagelaran wayang kulit. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, melalui akun Twitter-nya pada Ahad (17/5), mengakui bila pembacaan Al-Qur`an dengan langgam Jawa di Istana Negara itu sepenuhnya merupakan ide yang berasal dari dirinya, bukan kehendak Presiden Jokowi.

“Kenapa langgam Jawa yang ditampilkan? Karena saya belum menemukan langgam daerah lain yang tajwidnya baik. Bila ada, tolong kirim rekamannya,” kata Lukman dalam tweet-nya.

Lukman menjelaskan bahwa tujuan pembacaan Al-Qur`an dengan langgam Jawa, untuk menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air.

Tak pelak upaya kontroversial Lukman ini menuai kecaman. Ketua PP Muhammadiyah Prof. Yunahar Ilyas mengungkapkan, tidak ada perlunya membaca Al-Qur`an dengan gaya Jawa, Sumatera, Ambon dan lain sebagainya. Sebab, bahasa Al-Qur`an itu adalah bahasa Arab, maka tidak boleh lupa bahwa yang dibaca adalah bahasa Arab, bukan bahasa Melayu atau pun bahasa Jawa.

“Ini bahasa Arab, jangan dibaca dengan lagu yang tidak mencerminkan bahasa Arabnya. Nanti gaya Cina beda lagi,” kata Yunahar seperti dikutip Republika.

Yunahar memaparkan bahwa dilihat dari hukum membaca Al-Qur`an, yang tidak bisa ditawar itu memang hanya makhraj dan tajwid. Tapi, sesuatu yang boleh pun bisa jadi tidak boleh jika itu dirasa tidak pantas dijalankan.

Sementara itu Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal ganjil terhadap nilai-nilai agama Islam. Apalagi, keganjilan itu membuat onar dan melahirkan keresahan bagi masyarakat. Tengku menyarankan agar masyarakat mengikuti pakem yang telah ada ketika membaca Al-Qur`an.

“Tidak usah nekat mencari-cari hal yang membuat resah masyarakat saja,” ujarnya, menambahkan bahwa sebaiknya masyarakat mengasah kemampuan dan pengetahuan huruf dan tajwid Al-Qur`an hingga baik.

Terkait dengan keganjilan, ia menerangkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda terkait hal tersebut. “Barang siapa yang ganjil, maka nanti masuk neraka. Karena neraka khusus untuk orang-orang yang ganjil,” tambahnya.

Sepengetahuan Tengku, fenomena pembacaan Al-Qur`an dengan langgam Jawa ini baru terjadi. Dan menurutnya hal itu konyol.

“Karena presiden pertama Indonesia saja, Ir. Sukarno tidak pernah melakukan hal itu. Dia justru bersusah-payah mendatangkan Syeikh Usman Fattah dari Medan ke Istana Negara untuk membaca Al-Qur`an pada acara-acara Islam,” tutur Tengku.

Menurut Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) cara baca Al-Qur`an seperti yang dilakukan si qari itu mengikuti gaya macapat, terutama tembang mijil, yaitu salah satu jenis irama lagu bagi masyarakat Jawa. Tidak jauh berbeda dengan irama dangdut, pop, jazz, dst. Hanya saja, mengingat irama ini lebih terikat dengan kedaerahan, penyebarannya tidak lebih luas dibanding irama yang lain.

Namun apa pun itu, kita sepakat ini irama lagu. Ada dua sudut pandang yang bisa kita berikan untuk kasus di atas. Yaitu pertama, hukum membaca Al-Qur`an dengan irama (lahn). Dr. Ibrahim bin Sa’d Ad-Dausiri—ketua lembaga studi Ilmu Al-Qur`an di King Saud Unniversity—menjelaskan,irama bacaan Al-Qur`an ada dua:

  1. Irama yang mengikuti tabiat asli manusia, tanpa dibuat-buat, tanpa dilatih. Ini cara baca umumnya masyarakat ketika melantunkan ayat suci Al-Qur`an. Dan ini diperbolehkan, bahkan termasuk dianjurkan ketika seseorang membaca Al-Qur`an. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak melagukan Al-Qur`an.” (H.r. Bukhari 7527)
  2. Irama bacaan Al-Qur`an yang dibuat-buat, mengikuti irama musik, atau irama lagu tertentu.Yang semacam ini tidak bisa dilakukan kecuali melalui latihan. Ada nada-nada tertentu, yang itu bisa keluar dari aturan tajwid. Cara baca semacam ini hukumnya terlarang.

Selanjutnya Dr. Ibrahim Ad-Dausiri membawakan keterangan Al-Hafidz Ibnu Katsir. Yang diajarkan oleh syariat adalah memperindah bacaan Al-Qur`an karena dorongan ingin mentadabburi Al-Qur`an, memahaminya, berusaha khusyuk, tunduk, karena ingin menaati Allah. Adapun bacaan Al-Qur`an dengan lagu yang tidak pernah dikenal, mengikuti irama, tempo, cengkok lagu, dan nada musik, maka seharusnya Al-Qur`an diagungkan, dan dimuliakan dari cara baca semacam ini. (Fadhail Al-Qur`an, hlm. 114).

Keterangan lain disampaikan Imam Ibnul Qoyim, “Semua orang yang mengetahui keadaan ulama salaf, dia akan sangat yakin bahwa mereka berlepas diri dari cara baca Al-Qur`an dengan mengikuti irama musik yang dipaksa-paksakan. Menyesuaikan dengan cengkok, genre, dan tempo nada lagu. Mereka sangat takut kepada Allah untuk membaca Al-Qur`an dengan gaya semacam ini atau membolehkannya. (Zadul Ma’ad, 1/470)

Dan sangat jelas, si qari itu membaca dengan irama lagu, bukan karena bawaan asli cara dia membaca Al-Qur`an. Kita bisa melihat sangat jelas, kesan dipanjang-panjangkan, merusak kaidah tajwid, dalam rangka mengikuti irama macapat. Padahal itu dibaca di acara resmi Negara, di dengar oleh banyak orang yang paham bacaan Al-Qur`an.

Kedua, liberalisasi Al-Qur`an. Barangkali ini yang perlu lebih mendapatkan perhatian. Untuk generasi saat ini, langgam lagu macapat hampir terlupakan. Hanya digunakan untuk suasana resmi hiburan resepsi pernikahan. Masyarakat Jawa sendiri sudah banyak yang meninggalkannya. Ketika kita belajar Al-Qur`an di surau atau TPA, kita tidak pernah diajari cara membaca Al-Qur`an seperti itu.

Karena itu, wajar ketika ada orang yang membaca Al-Qur`an dengan langgam yang aneh tersebut, spontan memicu banyak reaksi dari kaum Muslimin. Jika itu satu hal yang lumrah bagi mereka, tidak akan mereka permasalahkan.

‘Menciptakan sensasi’ dan suasana baru dalam bacaan Al-Qur`an. Ulah orang-orang liberal, menciptakan sensasi dan suasana baru dalam bacaan Al-Qur`an, boleh jadi untuk memancing emosi kaum Muslimin. Dengan niat yang tidak baik ini, maka sensasi seperti ini termasuk dalam kategori istihza’ (mempermainkan) Kitab suci Al-Qur`an.

Menyusupkan Paham Kemal Ataturk

Selama menjadi Menteri Agama Lukman Hakim cukup berprestasi membuat kehebohan yang mengundang kelucuan di tengah masyarakat. Kehebohan pertama ketika dia mengatakan Bahai sebagai sebuah agama, sehingga pernyataannya ini mengundang sinisme masyarakat terhadap kualitas pengetahuan agama sang menteri. Karena semua orang sudah tahu bahwa Bahai merupakan sekte sesat yang merupakan pecahan dari Syi’ah seperti halnya dengan sekte Druze di Libanon.

Heboh Bahai ini lenyap dengan sendirinya dari memori ingatan publik karena memang tidak mempunyai bobot ilmiah sama sekali. Bahkan ada seorang tokoh NU yang berkomentar kepada kalangan tertentu menyayangkan pernyataan Lukman Hakim tentang Bahai sebagai sebuah agama.

Belakangan Lukman Hakim membuat lelucon lain ketika peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara dengan menampilkan qiraah Al-Qur`an langgam Jawa yang dia katakan sebagai langgam Nusantara. Gagasan yang dipraktikkan Lukman Hakim ini mendapat reaksi yang kontroversial. Respons positif datang dari Prof. Ahsin Sakho Muhammad, yang menegaskan cara membaca Al-Qur`an merupakan hasil karya seni manusia yang dirangkum dalam Kalamullah. Hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena lahir dari seni budaya masyarakat tertentu.

Dia mengatakan, “Ini adalah perpaduan yang baik antara Kalamullah dari langit yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan,” kata Ahsin Sakho, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) periode 2014, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon, Ahad (17/5/2015).

Pertanyaannya, apakah Kalamullah yang menggunakan bahasa Arab berupa Al-Qur`an bukan merupakan hal yang menyatu dengan bumi? Apakah bahasa Arab bukan bahasa yang dipergunakan oleh manusia yang tinggal di bumi? Jika langgam bacaan dianggap sebagai upaya menyatukan Kalamullah dengan bumi, apakah sebelum langgam Jawa yang dipamerkan dalam acara Isra’ Mi’raj itu berarti Kalamullah tidak menyatu dengan bumi atau manusia? Pernyataan ini sangat tendensius yang perlu kejujuran untuk menjelaskan kepada publik. Secara logika, apapun karya manusia di dunia ini adalah hal yang membumi. Bahkan Al-Qur`an yang kemudian ditulis dengan huruf-huruf Arab untuk dapat dibaca oleh segenap umat manusia, apakah ini bukan merupakan bentuk Kalamullah yang menyatu dengan bumi atau budaya manusia?

Kontroversi pembacaan ayat-ayat Al-Qur`an dengan langgan Jawa menjadi kian seru, ketika salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Ade Armando ikut berkomentar di akun Facebook pribadinya yang ditautkan dengan akun Twitter-nya, @adearmando1. Entah serius atau berseloroh, ia mengatakan Allah akan senang jika ayat Al-Qur`an dibaca dengan gaya apa pun.

“Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues ….” kata Ade Armando di akun media sosial pribadinya, Rabu (20/5).

Allah SWTt menurunkan Kitab Suci-Nya menggunakan bahasa Arab, maka untuk memahami kehendak Allah itu pakai bahasa apa? Dari manakah seseorang mengetahui bahwa Allah menyukai bacaan ayat suci-Nya dengan langgam suku tertentu?

Nabi SAW tidak pernah menyampaikan demikian, para ulama juga tidak mengajarkan seperti itu. Bahkan salah seorang dari Wali Songo yang asli Jawa, Sunan Kalijaga, tidak pernah membaca Al-Qur`an dengan langgam Jawa. Apakah Ade Armando seorang dukun sehingga mendapat bisikan roh halus?

Gagasan Menteri Agama Lukman Hakim untuk melestarikan langgam dandang gula melalui alunan bacaan Al-Qur`an, yang kemudian didukung Prof. Sakho, Ade Armando, dan yang sepaham dengannya nampaknya berangkat dari semangat nasionalisme yang digaungkan oleh pemimpin Turki Mustafa Kemal Ataturk.

Sejak menumbangkan Khilafah Utsmaniah tahun 1924, Mustafa Kemal Ataturk menunjukkan kebenciannya pada Islam, dengan cara menghilangkan simbol Islam bernuansa Arab. Misalnya, menghapus penggunaan kalender Islam, menghapus undang-undang perkawinan Islam, mengubah masjid Ayassophia menjadi museum, melarang shalat berjamaah di masjid. Selain itu, Kemal juga melarang azan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki, Al-Qur`an tidak boleh dicetak dalam bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki.

Akibatnya, rakyat Muslim Turki sampai sekarang sangat jarang yang bisa membaca Al-Qur`an sekalipun mereka memegang Al-Qur`an tarjamah bahasa Turki. Dampak buruk dari semangat nasionalisme membabi buta ini nampaknya akan coba dikembangkan di Kementerian Agama, dan dipublikasikan kepada masyarakat bahwa langgam qiraah Al-Qur`an dianggap sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Sikap Menteri Agama Lukman Hakim, persis seperti Menag sebelumnya yaitu Mukti Ali dan Munawar Sadzali, yang secara tersirat mengesankan bahwa segala bentuk perilaku Islam di Indonesia sebaiknya dibangun berdasarkan semangat nasionalisme seperti yang dilakukan oleh Kemal Ataturk di Turki. Hal inilah yang memang sejak tahun 1953 disuarakan oleh beberapa aktivis Liberalisme dan Sekulerisme di lingkungan Kementerian Agama.

Sebagai contoh, pada tahun 1953 seorang Sekretaris Jendral Kementerian Agama diundang oleh Amerika mengikuti seminar budaya Islam di Amerika. Salah satu pernyataan dari pejabat tinggi Deparemen Agama waktu itu, Muhammad Kafrawi. Bahwa Indonesia membentuk Kementerian Agama dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang antara kepentingan umat Islam dan kalangan non-Islam. Pemerintah membantu pembangunan lembaga-lembaga Islam dan masjid-masjid, tetapi sekaligus memberikan perlindungan kepada misionaris Kristen untuk melakukan misinya di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1972 ketika Mukti Ali menjadi Menteri Agama, Kementerian Agama menetapkan buku wajib di lingkungan IAIN yang disusun oleh Prof. Dr. Harun Nasution dengan judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Buku ini misinya untuk meyakinkan mahasiswa Islam tentang aqidah semua agama benar dan Islam hanya salah satunya. Juga siapa pun yang melakukan amal kebaikan sekalipun dia tidak beragama Islam akan masuk surga. Selain itu, buku ini juga memaparkan pendapat-pendapat yang kacau tentang aqidah Islam seperti akidah Mu’tazilah, Murjiah, Qadariah, Jabariyah tanpa analisis akademis yang jujur tentang kebatilan ataupun kebenarannya.

Buku ini mendapatkan kritik tajam dari Prof. Dr. HM Rasjidi dalam bukunya koreksi atas buku Harun Nasution, “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek”. Koreksi ini disampaikan kepada Departemen Agama waktu itu tetapi sama sekali tidak digubris oleh Menteri Agama. Hal ini membuktikan bahwa Kementerian Agama mempunyai misi untuk menggiring generasi muda umat Islam untuk meninggalkan agamanya yang dianggap bercorak Arabisme.

Oleh karena itu, munculnya pernyataan Lukman Hakim sesungguhnya merupakan mata rantai kegiatan deislamisasi (pendangkalan Islam) di Indonesia dan ingin membuat Islam ala Indonesia atau ala Nusantara. Hal ini bukan merupakan sikap prejudis yang membabi buta yang kita lontarkan kepada publik, tetapi ada fakta-fakta sejarah yang menjadi latar belakang pernyataan ini.

Terkait dengan bacaanAl-Qur`an menggunakan langgam di luar yang memiliki sanad atau rangkaian sumber dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya, patut dipertanyakan motivasinya. Sebab sampai detik ini, kita belum pernah mendengar adanya ulama Mesir berusaha untuk membuat langgam bacaan Al-Qur`an ala Mesir, padahal mereka mempunyai pakar-pakar qiraah yang jauh lebih hebat dari segelintir ulama qiraah di Indonesia. Begitu juga di India, Pakistan, Afghanistan, Sudan, Nigeria, Mauritania, Malaysia, Brunei tidak ada kita dengar suara yang dikumandangkan seperti di Indonesia. Padahal kita tahu, negeri-negeri tersebut merupakan negeri-negeri Islam yang tidak kurang kehebatannya dari Indonesia.

Dalam kaitan ini pula, sebagai komparasi patut dipertanyakan: “Mengapa lagu Indonesia Raya tidak diusulkan agar dinyanyikan dengan langgam Jawa, Sunda, atau Batak dan suku-suku lain di Indonesia? Mengapa lagu-lagu mars militer tidak dibuat langgam sesuai budaya suku masing-masing? Mengapa aba-aba militer tidak dibuat dengan langgam Jawa atau suku-suku lain di tiap-tiap daerahnya?

Jika terhadap hal-hal yang kita pertanyakan ini Menteri Agama atau para pendukungnya menjawab tidak boleh, karena dinilai sakral. Lalu mengapa bacaan Al-Qur`an dianggap sebagai permainan para penyanyi dangdut? Apakah lagu kebangsaan, mars militer dan aba-aba yang dipakainya yang tidak dilanggamkan dengan bahasa kesukuan di Indonesia dapat dianggap tidak membumi dengan manusia di Indonesia sebagaimana yang dilontarkan oleh Prof. Sakho?

Mengapa deislamisasi, merusak dan menggerogoti ajaran serta nilai-nilai Islam dari dalam, terus saja berlangsung? Ide membumikan ‘Islam ala Indonesia’ telah berlalu dan tidak laku. Misalnya, gagasan mantan Menteri Agama Munawir Sadzali agar pembagian waris disamakan antara laki dan perempuan. Hilang, bagai bau busuk tertiup angin.

Kini, muncul Menag Lukman Hakim Saifuddin, ingin melestarikan budaya Jawa dengan gagasan ‘Jawanisasi Qiraah Al-Qur`an.’ Melagukan Al-Qur`an dengan langgam Dandanggulo, macapat, atau semacamnya. Kita berharap Lukman Hakim tidak menjadi bagian dari misi Zending dan Zionis atau Kemalisme dalam memimpin Kementerian Agama sekarang.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top