Pilihan Hidup

Oleh Ustadz Irfan S. Awwas

Orientasi pemerintahan di banyak negeri Muslim belum berubah, yaitu marginalisasi Syariat Islam secara politik dan konstitusional. Mengikuti orientasi pemerintahan sekuler, yang memisahkan agama dan Negara. “Jangan membawa urusan agama dalam kehidupan bernegara. Sebab, agama urusan pribadi sedangkan negara urusan publik,” kata mereka.

Akibatnya, sekalipun populasi umat Islam mayoritas di banyak Negara, bahkan mayoritas mutlak, tetapi Syariat Islam yang seharusnya menjadi aturan kehidupan mereka tidak boleh diterapkan. Keinginan untuk melaksanakan Syariah Islam di lembaga Negara dianggap sebagai pemaksaan kehendak dari mayoritas intoleran. Sehingga kaum Muslimin, terpaksa atau dipaksa, diatur dengan aturan serta undang-undang yang tidak diridhai Allah Swt.

Masih banyak di kalangan umat Islam yang tidak mengenal dengan benar, siapa Tuhannya dan bagaimana Syariat-Nya. Betapa banyak manusia yang mengaku Muslim, namun sangat ringan lidahnya mengolok-olok ajaran Islam. Bahkan membenci saudaranya yang berjuang untuk terlaksananya Syariat Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara.

Sebuah Pilihan

Di zaman ini, di kalangan kaum Muslimin masih ada yang beranggapan, bahwa menjadi seorang Muslim yang memperjuangkan tegaknya Syariat Islam. Atau menjadi Muslim yang menolak berlakunya Syariat Islam di lembaga Negara, adalah pilihan, bukan kewajiban. Peliknya lagi, masing-masing pemilih dari dua opsi ini, memiliki karakter yang berbeda.

Karakteristik pemilih opsi pertama, mereka menaati Allah dengan cara yang diajarkan oleh utusan-Nya Muhammad Saw. Terhadap orang kafir mereka berani, dan terhadap sesama Mukmin bersikap santun. Kehidupannya dihiasi dengan ibadah dan amal shalih. Kesuksesan hidup, sebagai hasil tanaman takwa, mengundang kecemburuan dan kebencian orang kafir.

Seperti termaktub dalam firman Allah Swt, “Muhammad adalah Rasul Allah. Para sahabatnya bersikap keras kepada orang-orang kafir, namun berkasih sayang kepada sesama mereka. Wahai Muhammad, kamu melihat para sahabatmu ruku’ dan sujud untuk mencari rahmat Allah dan keridhaan-Nya. Wajah mereka tampak tenang dan teduh sebagai tanda ketundukan mereka kepada Allah. Itulah gambaran para sahabat nabi yang terdapat dalam Taurat dan Injil. Mereka itu laksana tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tumbuh menjadi kuat dan banyak cabang-cabangnya. Kemudian pohon itu menjulang tinggi di atas akarnya. Pohon itu menyenangkan para penanamnya, sehingga membuat orang-orang kafir dengki kepada mereka. Allah menjadikan pengampunan dan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih.” (Q.s. Al-Fath [48]: 29)

Sedangkan pemilih opsi kedua, mereka tidak berani menerima resiko dari pengamalan Syariat Islam. Sikap mereka labil, tidak punya prinsip, tergantung situasi dan kondisi. Ibarat pepatah, “Ke mana angin bertiup ke sanalah condongnya.”

Karakter mereka seperti firman Allah, “Orang-orang munafik berkata, ‘Kami beriman kepada Allah. Ketika mereka mendapatkan tekanan-tekanan orang kafir dalam menjalankan agama Allah, mereka menganggap tekanan-tekanan itu sebagai azab dari Allah, sehingga mereka tidak berani melaksanakan agama Allah. Ketika Allah memberikan kemenangan kepadamu, mereka berkata. ‘Wahai Muhammad, kami selalu bersamamu.’ Tidakkah mereka menyadari bahwa Allah lebih mengetahui siapa yang munafik dan siapa yang Mukmin?” (Q.s. Al-Ankabut [29]: 10)

Resiko dari Pilihan

Selama berabad-abad perjalanan jihad para mujahid pembela Islam, selalu berada di antara dua ujian. Pertama, diuji dengan kemenangan dan hidup terhormat di dunia. Apabila Allah Swt menakdirkan kemenangan, maka implementasi syariat Islam di lembaga negara serta membebaskan diri dari sistem hukum dan dominasi bangsa kafir, menjadi misi utamanya.

Jika menjadi pemimpin negara, maka yang diikhtiarkan adalah meretas jalan menuju ridha Ilahi dengan menjalankan roda pemerintahan berdasarkan petunjuk Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Saw, secara konsisten dan konsekuen. Allah Swt berfirman:

Kami jadikan masing-masing mereka sebagai pemimpin yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan izin Kami. Kami perintahkan kepada mereka untuk melakukan amal-amal shalih, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Mereka semua senantiasa taat kepada Allah. (Q.s. Al-Anbiya`[21]: 73)

Pemimpin ideal adalah sosok insan yang mampu menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin dalam kehidupan beragama. Bukan pemimpin yang memisahkan negara di satu sisi dan agama di sisi lainnya secara kontradiktif seperti paham zionis. Artinya, seorang pemimpin ideal adalah mereka yang bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, melainkan juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seorang negarawan haruslah pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan, senantiasa mengajak rakyatnya untuk menempuh jalan yang diridhai Allah Swt. Menggerakkan manusia beramal shalih, mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta menjauhkan manusia dari perbuatan mungkar dan kerusakan moral.

Sejarah membuktikan, suksesnya kepemimpinan di era Rasulullah Saw dan para shahabatnya adalah karena pemimpin negaranya tidak hanya memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan, melainkan juga cerdas dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama rakyatnya. Bila mereka menjadi Presiden, Gubernur, Bupati, atau pejabat Negara lainnya. Mereka menjadi teladan bagi rakyatnya dalam hal kebijakan dan kebajikan.

Kedua, diuji dengan kekalahan dan kemuliaan mati syahid. Ketika para mujahid berada dalam kondisi kedua, dikalahkan oleh musuh, maka akan ada banyak orang di antara mereka yang satu demi satu gugur di tangan lawan. Kondisi umat Islam berpecah belah, diadu domba oleh musuh, menjadi obyek politik, ekonomi dan ideologi negara lain. Sebagian dari rakyat Muslim ditangkap dan dipenjara, bahkan ada yang dieksekusi mati dengan tuduhan teroris, pemberontak, musuh negara, atau tuduhan keji lainnya. Tidak hanya itu, para tokohnya dirusak citranya, rakyat awam diprovokasi agar membenci mereka dan tidak memberikan dukungan terhadap cita-cita mereka menegakkan syariat Islam.

Sudah menjadi Sunatullah bahwa orang yang berjuang membela agama Allah, ada kalanya mati sebelum berhasil meraih cita-citanya. Namun, sebagian lainnya ada yang dapat menikmati hasil perjuangannya dengan kemenangan Islam. Ada yang gugur sebagai syuhada, dan ada pula yang masih bertempur atau masih hidup meneruskan jihadnya.

“Ada sejumlah orang Mukmin yang benar-benar jujur dalam berjanji kepada Allah. Di antara mereka ada yang mati di medan perang dan ada yang menantikan kematian dalam berperang. Orang-orang Mukmin itu tidak mau melanggar janjinya kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberikan pahala besar kepada orang-orang yang memenuhi janji mereka dengan benar. Allah akan menyiksa orang-orang munafik sesuai kehendak-Nya atau Allah akan mengampuni mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.” (Q.s. Al-Ahzab [33]: 23-24)

Bahkan, dari kalangan shahabat ada yang meninggal sebelum Islam meraih kemenangan, seperti Sumayyah, Ammar bin Yasir, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib, dan lain-lainnya. Adapun yang lainnya lagi, seperti Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan shahabat lainnya, berjumpa dengan masa-masa kemenangan Islam. Keadaan seperti itu akan berlaku terus hingga Hari Kiamat.

“Maka bersabarlah kamu menghadapi gangguan kaum kafir. Janji Allah kepadamu pasti benar. Kami akan tunjukkan kepadamu sebagian dari azab bagi kaum kafir yang telah Kami ancamkan kepada mereka, atau engkau Kami matikan lebih dahulu. Hanya kepada Kamilah semua manusia kelak akan dikembalikan.” (Q.s. Al-Mukmin [40]: 77)[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top