Risalah Mujahidin Edisi 32: Teror Syi’ah

“Saya kira kelompok Syiah ‘tidak sebagus’ kelompok Ahmadiyah. Kita adalah sebuah kelompok keagamaan yang mendunia, jadi berbeda dengan kelompok Ahmadiyah yang menyambut pukulan yang mematikan itu dengan senyuman. Orang-orang Syiah tidak akan membiarkan tindakan kekerasan itu terus menerus terjadi. Karena untuk pengikut Syi’ah, mengorbankan darah dan mengalirkannya bersama darah Imam Husein adalah suatu kemuliaan. Saya tidak bermaksud mengancam ya tapi apakah kita harus memindahkan konflik Sunnah-Syiah dari Iraq ke Indonesia? Semua itu berpulang pada pemerintah.”

Jalaluddin Rahkmat (Ketua Dewan Syura IJABI)

Pada tahun 1981, pasca revolusi menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlavi 11 Februari 1979, kedutaan Iran di Jakarta mengundang aktivis dan mahasiswa Islam berkunjung ke negeri para mulah Iran. Semangat revolusi Syi’ah yang digaungkan dengan label Revolusi Islam Iran pimpinan Khomaini, sangat spektakuler sehingga menyulut keinginan ratusan aktivis muda Islam Indonesia berlomba mendapatkan tiket gratis menyaksikan langsung gelora revolusi di Iran.

Ekspor Revolusi yang didengungkan Ayatullah Khomeini kemudian dibuktikan dengan adanya gelombang pengiriman pelajar dan santri ke Qum (Iran) untuk dididik secara militan, sehingga pulang dari Iran mereka menjadi kader dakwah Syiah di kampung halaman masing-masing. Syiahisasi inilah kemudian  telah menimbulkan keretakan terhadap kerukunan intern ummat Islam yang ada di Indonesia.

Di antara aktifis muda Islam ini, ada yang berkunjung beberapa minggu, tetapi banyak juga yang menempuh pendidikan beberapa tahun di Qom. Mereka yang bermukim mengenyam pendidikan, sengaja dipersiapkan menjadi kader militan Syi’ah, termasuk dalam kloter ini adalah Ahmad Barakbah dan Ibrahim alias Jawad.

Tahun 1984, Ibrahim alias Jawad pulang ke Indonesia, dan membentuk kelompok pengajian bersama Husein Ali Al-Habsyi (tunanetra), Achmad Muladawilah, Hamzah alias Supriono. Sepulangnya ke Indonesia, tanpa rasa bersalah, lisannya lihai mencaci maki sahabat Nabi Saw. Dan yang mengerikan, mereka menikmati syahwat kawin mut’ah (kawin kontrak).

Selain di Malang, kajian Syi’ah meyebar ke berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Solo dan di luar Jawa. Ibrahim alias Jawad membawa mesiu revolusi Syi’ah dan bertekad mengembangkan ideologi permusuhan berbasis ahlul bait di Indonesia.

Sekarang jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran diperkirakan 7000 orang, melebihi jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Mesir. Mereka juga semakin militan, seperti diungkapkan oleh Duta Besar RI di Teheran, Dian Wirengjurit, dalam acara Public Lecture bertema, “Pasang Surut Hubungan Indonesia-Iran” untuk mahasiswa Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) UIN, Yogyakarta, 21 April 2014.

Dian menceritakan pertemuannya dengan para pelajar Indonesia di Qom, dan dia terkejut menyaksikan semua pelajar mengenakan pakaian gaya mullah dan menunjukkan militansi serta loyalitasnya pada imam Syi’ah.

“Saya dengar, teman-teman disini sudah ada yang menyatakan kesetiaan kepada Ayatollah, bukan kepada NKRI. Saya hargai sikap teman-teman yang sudah menyatakan kesetiaan kepada Ayatollah, tapi konsisten. Maksudnya apa pak? Kalau kesetiaannya pada Ayatollah, copot paspor, saya tunggu 1 minggu,” ungkap Dubes Dian Wirengjurit.

Untuk menyebarkan ideologi Syi’ah di Indonesia, selain melalui training, Ibrahim cs juga mengimpor revolusi Syi’ah dan menggunakan cara radikal berupa peledakan sejumlah gereja dan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Tujuannya, menciptakan situasi chaos dengan semangat revolusi Syi’ah untuk memprovokasi umat Islam melawan rezim thaghut, atau label yang lebih populer mustadh’afin (rakyat tertindas) melawan mustakbirin (penguasa selain Syi’ah).

Kenyataan ini amat berbahaya, dan mengancam stabilitas negara. Selama puluhan tahun kader militan Syi’ah telah menyemai paham sesatnya, dan sekarang mereka sedang menuai hasil tanamannya. Konflik Sampang antara umat Nahdhiyin Aswaja dan kelompok sesat Syi’ah pimpinan Tajul Muluk, termasuk kerusuhan di Jember adalah di antara hasil panennya.

Akhir-akhir ini, sekte Syiah nampaknya mencoba meninggalkan sikap taqiyah, dan berani secara terang-terangan melakukan infiltrasi ideologi terhadap umat Islam di Indonesia. Perubahan sikap ini, barangkali kaum Syi’ah merasa sudah kuat karena banyak pengikutnya, atau sebagai minoritas sesat merasa mendapat perlindungan dari pemerintah atau parpol tertentu. Sejumlah tokoh Syi’ah, berani muncul dengan mengibarkan bendera organisasi IJABI dan ABI.

Imigran Syi’ah

Pasca Australia menutup pintu bagi para pencari suaka, 1 Juli 2014, kini Indonesia menjadi tujuan utama imigran Syi’ah. Ekspansi Syi’ah Iran dan Afghanistan mulai membanjiri Indonesia melalui pintu masuk ibukota Kalimantan Timur, Balikpapan.

Diberitakan oleh MetroTV bahwa alasan keberadaan mereka di Balikpapan adalah guna melarikan diri dari negaranya untuk mencari selamat dari kemungkinan dibunuh maupun diculik oleh salah satu harakah Ahlussunnah di Afghanistan, yaitu Taliban, sebagaimana dilansir di METROTVNEWS.COM, (06/11/2014)

Mereka mengaku pelarian dari Afghanistan karena penindasan pemerintahan di sana. Namun anehnya, tidak ada satupun dari mereka yang membawa identitas dari negara mereka. Hanya beberapa orang saja yang memiliki pasport.Yang lebih anehnya lagi, kedatangan mereka yang mengaku pencari suaka, namun tidak ada satupun yang membawa keluarganya, tidak ada wanita dalam kelompok mereka, anak-anak ataupun orang tua. Semuanya pemuda usia produktif, umur 23-30 thn.

Benarkah kehadiran mereka untuk mencari suaka, atau ada motif lain? Kepala kantor imigrasi Balikpapan, Sukadar mengatakan, mereka datang dari Jakarta menggunakan pesawat berbekal sertifikat United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Asylum Seeker. Surat keterangan dikeluarkan Kantor UNHCR di Jakarta.

Dalam surat itu dijelaskan bahwa dokumen tidak dapat digunakan untuk akses ke bandara dan fasilitas dengan keamanan khusus lainnya. “Surat itu bukan berfungsi sebagai paspor. Tetapi mengapa mereka bisa naik pesawat kemari? Mengapa itu bisa terjadi?” Sukadar keheranan.

Sukadar mempertanyakan komitmen maskapai yang mengangkut para imigran tersebut. Sebab, maskapai tidak memperhatikan Surat Dirjen Imigrasi Kemenkumham, 15 April lalu tentang pengamanan penumpang imigran ilegal yang menggunakan rute domestik.

Surat yang ditujukan ke lima direktur utama maskapai yang beroperasi di Indonesia itu menyebut permohonan bantuan kepada maskapai agar menolak imigran ilegal pemegang dokumen UNHCR Asylum Seeker; kecuali, dalam pengawalan petugas imigrasi sesuai ketentuan.

Dalam pantauan beberapa website berita Islam, para imigran bisa jadi orang-orang militer Syi’ah di negara asal mereka. Selain postur tubuh mereka yang tinggi besar laksana tentara dan mereka punya keahlian di bidang olahraga dan bela diri. Menurut petugas imigrasi, setiap hari mereka berlatih beladiri di tempat penampungan.

Kegiatan mereka sehari-hari di Rudenim Imigrasi Balikpapan dan Rumah kepala Imigrasi Balikpapan (mereka di tempatkan dalam 2 tempat berbeda karena Rudenim sudah overload), pada sore hari mereka melakukan latihan beladiri dan malamnya melakukan ritual memukul-mukul kepala dan dada sambil berteriak, “Ya Husein… Ya Husein…”

Penampungan imigran Syi’ah, selain di Balikpapan, juga di Bogor. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi, penyumbang terbesar para imigran di wilayah Puncak adalah warga negara Afghanistan. Beberapa di antaranya adalah warga Syi’ah yang tak bisa tinggal di negaranya sendiri.

Terkait hal itu, Muspika Kecamatan Cisarua terus melakukan pendataan. Sedikitnya tercatat 481 imigran yang memiliki dokumen sah dari UNHCR. Namun dari data tersebut, diprediksi masih ada sekitar ribuan imigran yang tidak memiliki dokumen alias ilegal.

“Pendataan dilakukan untuk mencari imigran yang belum memiliki dokumen sah. Pada saat pendataan, mayoritas imigran berasal dari Afghanistan. Mereka lari ke sini karena negaranya dalam situasi konflik. Mereka akan mencari suaka ke Australia,” ungkap Kapolsek Cisarua Kompol Musimin.

Sementara itu, Kantor Imigrasi Bogor kembali menangkap delapan Warga Negara Afghanistan di Puncak Bogor Selasa (9/12/2014). Dalam penangkapan ini, petugas imigrasi di bantu anggota TNI dan perangkat Kecamatan Cisarua.

Saat razia dilakukan ada 100 imigran terdata. Delapan diketahui pendatang ilegal. Petugas gabungan yang berkumpul di kantor Kecamatan Cisarua, lalu bergerak menyisir tiga tempat yakni Desa Citeko, Batulayang, Cisarua yang selama ini dihuni WNA.

Kepala Kantor Imigrasi Bogor, Herman Lukam mengaku, tiga lokasi yang menjadi target operasi, setelah diketahui dari petugas, bahwa tempat ini menjadi tempat pemukiman imigran.

“Saya akui ada pergeseran pemilihan tempat para i Jika dulu mereka tinggalnya terkonsentrasi di satu wilayah, sekarang imigran lebih senang tinggal di daerah terpisah-pisah dan menyebar,” kata Herman, seperti ditulis Poskotanews Selasa (9/12/2014).

Apakah kehadiran para imigran Syi’ah ini, realisasi dari ucapan Jalaludin Rahmat yang hendak mengimpor konflik Iraq ke Indonesia? Tanpa prasangka, setidaknya gelombang imigran Syi’ah yang datang bergelombang, tanpa identitas, dan tanpa pengawasan ketat dari pemerintah, mengindikasikan kekhawatiran itu.

Apa yang akan terjadi nanti, sebaiknya para mujahid Islam mengikuti instruksi Al-Qur’an ini:

“Wahai kaum mukmin, bersiap dirilah kalian untuk menghadapi kaum kafir dengan segenap kemampuan kalian dan dengan pasukan berkuda, untuk menimbulkan ketakutan pada musuh-musuh Allah, musuh-musuh kalian, dan orang-orang lain di luar mereka. Kalian tidak tahu kekuatan mereka, tetapi Allah mengetahui kekuatan mereka. Harta apa saja yang kalian telah dermakan untuk mendanai jihad guna membela Islam, niscaya Allah akan memberikan pahala kepada kalian, dan kalian tidak akan diperlakukan secara zhalim.” (Qs. Al-Anfal, 8:60)

Wallahu’alam bish shawab…

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top