Safar Nisa’: Perempuan Muslimah Bepergian Sendiri

Oleh Al-Ustadz Muhammad Thalib

 Wanita tidak akan dimuliakan kecuali oleh orang yang mulia. Begitupun, wanita tidak akan direndahkan kecuali oleh mereka yang hina. Karena itu Nabi Saw berpesan kepada para suami agar senantiasa memperlakukan istrinya dengan baik, dan beliau pun mencela para suami yang memarahi istrinya, atau memperlakukannya dengan buruk.

Risalah Mujahidin – Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan tubuh dan fisik yang lebih perkasa pada pria. Namun, Allah juga menganugerahkan perasaan yang lebih kuat pada kaum wanita. Terbukti, betapa banyak kekuatan pria yang gagah perkasa dan pemberani, akhirnya takluk di hadapan kekuatan perasaan seorang wanita.

Namun kini, para perempuan muslimah seringkali mengalami dilema manakala pergi sendirian tanpa adanya keluarga yang mendampingi. Disatu segi mereka ingin menaati sunah Nabi Saw. Tapi di segi lain mereka merasa terpasung aktivitasnya karena tuntutan emansipasi, kesetaraan gender, yang mengharuskannya keluar rumah tanpa pengawalan suami atau muhrimnya.

Bagaimana solusi Islami, agar perempuan muslimah dapat beraktivitas tanpa melanggar syariah Islam? Mengenai peraturan syariat perempuan bepergian sendiri terdapat hadits-haditsnya yang shahih sebagai berikut:

Pertama, dari Ibnu Abbas ujarnya, saya mendengar Nabi Saw bersabda dalam khutbahnya: “Janganlah seorang lelaki sendirian dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu bersama makhramnya, dan seorang perempuan tidak boleh bepergian kecuali ia bersama mahramnya. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata:’Wahai Rasulullah, istriku akan keluar pergi haji sedangkan aku telah ditetapkan untuk perang ini dan itu. Sabdanya pergilah kamu dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. Muslim 2391)

Kedua, dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Aallah dan hari akherat berpergian sejauh sehari semalam kecuali ia bersama dengan makhramnya.” (HR. Muslim 2388)

Ketiga, dari Abu Said Al-Hudriy ia menceritakan empat perkara dari Nabi Saw yang membuat aku kagum dan tertarik. Sabdanya: “Seorang perempuan tidak boleh bepergian sejauh perjalanan 2 hari terkecuali perempuan itu bersama suaminya atau lelaki makhramnya, dan tidak boleh berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, dan tidak boleh shalat sesudah dua shalat yaitu sesudah shubuh sampai matahari terbit dan sesudah ashar sampai matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan berat terkecuali menuju ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjidku ini.” (HR. Bukhari 1122)

Keempat, dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Perempuan tidak boleh bepergian sejauh perjalanan tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR Bukhari 1024)

Kelima, dari Abdullah bin Umar dari Nabi Saw sabdanya: “Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhirat bepergian sejauh tiga malam perjalanan kecuali ia bersama dengan lelaki mahramnya.” (HR. Muslim 2382)

Penjelasan Hadits

Terdapat lima hadits yang berisikan peraturan dari Nabi Saw berkenaan dengan perempuan bepergian sendiri. Hadits pertama secara total melarang perempuan pergi sendiri atau keluar dari rumahnya sendiri tanpa disebutkan jarak jauhnya dari rumahnya. Apakah hadits ini sebagai hadits yang pertama dikeluarkan oleh Nabi atau yang keberapa, tidak dapat kita ketahui.

Apabila kita berpegang pada hadits ini, maka seorang perempuan yang keluar dari rumahnya pergi ke tempat lain, walaupun berjarat 10 m saja tidak boleh kecuali ia disertai seorang lelaki mahramnya.

Hadits kedua, berisikan peraturan yang melarang perempuan pergi sendiri dari rumahnya dalam jarak sejauh perjalanan satu hari. Hadits ini jelas berlawanan dengan hadits pertama yang sama sekali tidak membolehkan. Apakah hadits yang kedua ini muncul sebagai pembatalan hadits pertama, tidak dapat diketahui dengan pasti.

Jika hadits kedua ini dianggap muncul sebagai pembatalan hadits pertama, maka harus ada keterangan tegas dari pernyataan Rasulullah Saw. yang mencabut hadits pertama, seperti pada kasus nabi mencabut larang ziarah kubur yang dikeluarkan di Makkah sebelum hijrah kemudian beliau cabut larangan ini semasa beliau beberapa lama tingal di Madinah. Pencabutan ini secara tegas disebut oleh Nabi Muhammad Saw sendiri. Sedangkan dalam kasus wanita bepergian kita tidak mendapati pernyataan tegas dari Nabi Saw.

Ketiga, memuat peraturan larangan bagi wanita bepergian sendiri sejauh perjalanan dua hari. Dengan peraturan ini berarti ketetapan hadits pertama dan kedua batal, bila kita menganggap hadits ke tiga ini muncul setelah hadits pertama dan kedua. Karena jika hadits pertama dan kedua tetap diberlakukan, maka ketentuan dalam hadits ke tiga ini menjadi sia-sia. Dan sangat mustahil Nabi Saw membuat peraturan sia-sia seperti ini.

Keempat, berisikan peraturan larangan bagi perempuan bepergian sendiri ke suatu tempat sejauh perjalanan tiga hari. Peraturan pada hadits keempat ini membatalkan peraturan pada hadits pertama, kedua dan ketiga, bila kita menganggap hadits keempat ini muncul setelah hadits ketiga.

Adanya peraturan yang berbeda-beda di atas, sedangkan obyek yang diaturnya satu, yaitu wanita bepergian sendiri, maka para ahli ilmu berusaha memahami maksud hakiki dari peraturan ini. Apakah yang diberlakukan hadits yang keempat saja, yang berarti peraturan-peraturan satu sampai tiga batal, atau peraturan yang diperlakukan adalah hadits nomer satu sedangkan hadits nomer dua, tiga dan empat batal?

Karena tidak dapat diketahui kepastian kapan hadits pertama disabdakan Nabi Saw dan kapan pula hadits kedua, ketiga dan keempat beliau sabdakan serta tidak adanya penegasan Nabi Saw mencabut salah satu dari keempat peraturan tersebut, maka muncul kesimpulan sebagai berikut:

  1. Makruh hukumnya bagi perempuan bepergian sendiri tanpa mahram kemanapun tempat yang ditujunya.
  2. Perempuan berkecukupan tetapi tidak punya mahram untuk pergi haji maka gugurlah kewajiban haji bagi dirinya, karena mahram termasuk kategori syarat kemampuan untuk pergi haji.
  3. Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan, bila perjalanan aman maka setiap perempuan boleh pergi bersama orang banyak untuk menunaikan ibadah haji. (Lih. Sunan Tirmidzi 1089).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan dengan tegas, bahwa seorang perempuan tidak haram bepergian sendiri bila perjalannya benar-benar aman. Tetapi jika keadaan perjalanan tidak aman, maka perempuan tidak boleh pergi sendiri sekalipun tempat yang ditujunya berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Istimbat (penetapan hukum) semacam ini didasarkan pada prinsip illatul hukmi (sebab yang mendasari munculnya hukum).

Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top