Oleh Ustadz Irfan S Awwas
HASRAT memupuk hubungan yang harmonis, toleran, dan demokratis, acapkali menjadi alasan rasional bagi sebagian orang untuk bersikap inkonsisten menaati petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Inkonsistensi itu misalnya, adanya orang Islam yang mengatakan, “negara kita bukan negara agama, maka jangan bawa-bawa agama dalam wilayah politik dan negara. Agama urusan pribadi sedang negara urusan publik.” Padahal, Islam memerintahkan supaya ajarannya dilaksanakan dalam segala urusan, kemudian menolak segala ajaran yang bertentangan dengannya.
Hingga kini, masih ada kalangan muslim dan pemerhati aliran sesat di Indonesia yang salah paham, seolah sekte Syi’ah termasuk salah satu mazhab Islam. Sekalipun perbedaan antara Islam dan Syi’ah, baik dalam hal aqidah, syari’ah dan muamalah sedemikian tajamnya, hanya dianggap perbedaan paham antar mazhab. Menurut kalangan ini, hendaknya perbedaan seperti itu dimaknai dalam koridor memperkaya keragaman variatif dan bukan kontradiktif yang membuat kita terpecah belah.
Sama halnya dengan demokrasi. Tidak sedikit tokoh beragama Islam yang berasumsi, bahwa dalam politik dan pengelolaan negara, sistem demokrasi merupakan pilihan terbaik untuk menghindari madharat. Sedangkan menolak sistem Islam, dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama, demi kepentingan yang lebih luas sesuai tuntutan keadaan.
Apologi Syi’ah
Tak disangka, asumsi menyesatkan ini terungkap melalui opini Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Menyambut terbitnya buku kontroversial berjudul Syiah Menurut Syiah, terbitan Ahlul Bait Indonesia, Menteri Agama Kabinet Kerja Jokowi ini menulis opini yang berpotensi meresahkan dan mengundang masalah.
Masalahnya, Lukman Hakim mengajak untuk menyikapi ajaran Syi’ah sebagai keragaman variatif. “Selaku Menteri Agama, saya menyambut baik usaha penerbitan ini yang menandakan adanya kemauan untuk membuka diri dan berkomunikasi dengan masyarakat. Kalau kemudian ada perbedaan-perbedaan, hendaknya dimaknai dalam koridor memperkaya keragaman variatif dan bukan kontradiktif yang membuat kita terpecah belah,” tulisnya.
Padahal buku Syiah Menurut Syiah berisi cercaan terhadap sahabat Nabi. Disebutkan dalam buku ini: “Imam Syi’ah lebih tinggi dari semua nabi. Bahwa Ali berhak menjadi khalifah, bukan hanya karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebutkan namanya oleh Rasulullah. Tapi Ali telah ditunjuk dengan menyebutkan namanya oleh Nabi, sedangkan Abu Bakar dan Umar adalah orang yang merampas hak khalifah dan telah bertindak zalim.”
Pertanyaannya, siapakah yang menuduh Abu Bakar Shidiq, Umar al-Khathab, dan Utsman bin Affan, merampas hak Ali bin Abi Thalib sebagai imam? Pernahkah Imam Ali menyatakan demikian?
Kenyataannya, penulis buku setebal 411 halaman ini, gagal mengemukakan dalil untuk menguatkan tuduhannya. Tidak ditemukan satupun pernyataan dari Ali, tidak juga dari putera beliau Hasan dan Husein yang membenarkan tuduhan Syi’ah. Jika Ali saja tidak protes, lalu mengapa orang Syi’ah yang marah?
Sebagai apologi kaum Syi’ah, buku Syi’ah Menurut Syi’ah, justeru kian meneguhkan kesesatan Syi’ah. Menyatakan Abu Bakar telah merampas hak Ali, merupakan persepsi yang didasarkan atas kebohongan. Segala cara digunakan oleh kaum Syi’ah untuk menista para sahabat nabi yang mendapat predikat radiyallahu anhum wa radhu anhu (keridhaan Allah atas mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya).
Terhadap tuduhan buruk yang dialamatkan pada sahabat nabi, memadailah tantangan Prof. Mullah Ahmad Kasravi terhadap kaum Syi’ah, dalam buku terjemahan Ulama Syi’ah Menghujat Syi’ah yang menyatakan:
“Jika kalian berbicara tentang Islam kepada kami, tunjukkanlah dalilnya dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi jika kalian hanya berbicara tentang pendapat-pendapat kalian kepada kami, maka nyatakanlah dengan terus terang, bahwa itu pendapat kalian sendiri, tidak mengaku-aku sebagai ajaran Islam.”
Maka boleh bersilang debat, bahwa ajakan Menag Lukman Hakim yang menyederhanakan konflik Islam dan Syi’ah hanyalah perbedaan variatif, jelas melecehkan para sahabat nabi, dan menyakiti hati Ahlu Sunnah. Sekiranya benar hanya perbedaan variatif, mengapa Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan lainnya memvonis Syi’ah kafir dan bukan dari golongan Islam? Apakah kajian Kemenag tentang Syi’ah dianggap lebih otoritatif dibanding telaah para imam mazhab itu?
Imam Abî Muhammad Rizkullah bin ‘Abdul Qawwî at-Tamimî, wafat tahun 480 H, berkata: “Imam Ahmad telah mengafirkan orang-orang yang menjauhkan diri dari sahabat, orang yang mencela ummul Mukminin ‘Aisyah, dan menuduhnya berbuat serong, karena Allah telah mensucikannya dari tuduhan tersebut seraya beliau kemudian membaca ayat: “Allah menasehati kalian agar kalian tidak mengulang lagi perbuatan itu selama-selamanya, jika kalian benar-benar beriman.” (Qs. an-Nûr, 24:17).
Oleh karena itu, sulit menampik sakwasangka, terkait sikap Menteri Agama terhadap Syi’ah, yang bisa saja dimaknai sebagai pembenaran atas prediksi politik jelang Pilpres 2014. “Apabila Jokowi menjadi presiden, maka Menteri Agama dipilih dari mereka yang toleran terhadap paham dan aliran sesat”.
Lecehkan Agama
Masalah lain yang meresahkan dari sambutan Menag RI, Lukman Hakim Saifuddin, adalah opini yang menyatakan:
“Tidak mengherankan kalau ada di antara mereka yang melihat sesuatu yang tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah dianggap sebagai buatan manusia belaka sebagaimana Pancasila masih ada yang menganggapnya thagut atau tidak islami. Padahal Pancasila dan NKRI adalah kreasi bangsa karena adanya kebutuhan mendesak untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa yang menjadi perintah agama. Demokrasi juga demikian, dianggap pemerintahan kafir. Padahal pemerintahan berbasis rakyat diadakan karena kebutuhan mendesak menghindarkan madharat yang lebih besar yang ditimbulkan dari pemerintahan bentuk lain.”
Pernyataan spekulatif tanpa didukung fakta ilmiah, yang dipublikasikan melalui buku sektarian Syiah dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap Islam, mengingat otoritas penulisnya sebagai Menteri Agama RI. Setiap pernyataan yang menyudutkan agama, dan dikeluarkan oleh tokoh agama, akan direspons serius oleh umat beragama.
Dalam kaitan ini, apabila pernyataan di atas menjadi ideologis bahwa, “menerima demokrasi merupakan kebutuhan mendesak, untuk menghindari madharat yang lebih besar yang ditimbulkan dari pemerintahan bentuk lain,” jelas menyesatkan.
Apakah ‘pemerintahan bentuk lain’ maksudnya termasuk pemerintahan berbasis Islam? Jika iya, berarti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menganggap, penolakan terhadap berlakunya Syari’at Islam di lembaga negara sebagai pilihan yang maslahat?
Menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik untuk mencapai tujuan bernegara, bukanlah logika akal sehat. Buktinya, di banyak negara yang menganut sistem demokrasi, ternyata hanya melahirkan kejahatan dan orang jahat. Kemaslahatan apa yang sudah diraih bangsa Indonesia dengan menerima sistem demokrasi dan menolak Syari’at Islam?
Fakta sejarah membuktikan sebaliknya, Indonesia senantiasa diterpa madharat, justru akibat mengamalkan demokrasi. Di masa orde lama, lahir demokrasi terpimpin. Dengan alasan persatuan dalam satu tujuan yaitu gotong royong, maka dimunculkanlah ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) oleh Bung Karno. Hasilnya, pemberontakan PKI dan konflik antara Islam dan TNI di satu pihak, serta nasionalis komunis di pihak lainnya. Dampak buruk nasakom telah menjadi beban sejarah, yang menyengsarakan rakyat Indonesia secara moral, ideologis, dan politis.
Dengan alasan yang sama, demi persatuan dan kesatuan, demokrasi pancasila versi Suharto memunculkan asas tunggal pancasila. Pancasila dijadikan sumber dari segala sumber hukum. Setiap warga negara yang menolak, dianggap anti pancasila dan dipenjara dengan tuduhan subversi. Akibatnya, masa lalu orde baru telah meninggalkan trauma politik bagi rakyat negeri ini.
Apa yang terjadi di zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid? Dengan berlindung di bawah naungan negara demokrasi, katanya untuk melindungi minoritas dari ancaman mayoritas, Gus Dur mengusulkan dicabutnya pelarangan Tap MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme. Usulan tersebut dikecam banyak pihak, karena dinilai hendak menghidupkan kembali paham komunis di Indonesia.
Dan kini, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kaum liberal memunculkan wacana mengosongkan kolom agama di KTP. Alasannya, menghindari diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Semua itu dilakukan atas nama komitmen dan loyalitas pada sistem demokrasi.
Namun, demokrasi ternyata tidak bisa menjadi obat mujarab bagi semua persoalan yang muncul akibat mengamalkan sistem demokrasi. Buktinya, sejumlah negara yang telah beralih menjadi negara demokrasi justru menghadapi problem berupa sikap intoleran yang kian dominan. Terjadinya pembiakan kriminalitas, disharmonisasi kehidupan, dekadensi moral serta pembusukan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, membuktikan bahwa demokrasi tidak mampu memberikan pengayoman, ketentraman, keadilan dan rasa aman kepada masyarakat. Kasus korupsi sudah lama coba diatasi dengan pendekatan demokratis, secara formal dan legali. Tapi kenyataannya, kejahatan kian meluas, penyalahgunaan jabatan, mafia dan demoralisasi hukum merajalela. Polisi dan hakim bisa disuap, konflik sosial berupa kerusuhan, pembunuhan, perusakan di tengah-tengah masyarakat, kian memprihatinkan
Menurut teori, ciri demokrasi adalah rakyat memutuskan segala hal, dari urusan pribadi, rumah tangga, mengangkat pemimpin, dan bagaimana negara dan masyarakat harus diatur. Untuk itu, demokrasi memberi jaminan kebebasan beragama, berbicara, dan berkumpul.
Namun kebebasan tanpa petunjuk agama, memotivasi rakyat untuk berbuat kerusakan. Kebebasan beragama, diartikan sebagai bebas menganut agama dan bebas pula untuk tidak beragama, sehingga yang muncul aliran sesat, penistaan agama. Kebebasan berpendapat, menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Bahkan aturan agama dianggap sebagai sumber SARA sehingga harus dijauhkan dari negara.
Sementara kebebasan berperilaku, tersebar luasnya pornografi dan pornoaksi, kriminalitas, prostitusi, narkoba, perkosaan, penindasan, pembunuhan masal, ketidak adilan, konflik antar umat beragama, kerusuhan, makanan haram, riba, prostitusi, mabuk, pornografi, seks bebas, pengangguran, lesbian, gay, hingga terorisme.
Segala kejahatan ini sangat mengerikan. Benarkah segala penyakit yang ditimbulkan demokrasi dapat diselesaikan oleh demokrasi sendiri?
Namun faktanya, seperti dikatakan Zaghlul Raghib Muhammad An-Najjar: “Sejarah membuktikan, manusia tidak pernah mampu menciptakan aturan hidup atau tatanan hukum yang bersifat universal dan komprehensif untuk memandu dan mengatur prilaku mereka. Karena itulah, Allah Swt menurunkan syari’at untuk mengatur kehidupan manusia. Wahyu dan syari’at yang diturunkan Allah menjelaskan beragam persoalan yang selama ini tak terpecahkan dan tak dapat dipahami manusia. Seperti persoalan ghaib, persoalan yang terkait dengan perintah Allah, dan persoalan lain mengenai aturan berprilaku.”
Hendaknya dipahami, jalan Islam adalah jalan lurus yang ditunjukkan Allah Swt, siapa yang mengikutinya pasti selamat dunia-akhirat. Sedangkan jalan demokrasi adalah jalan sesat yang ditawarkan orang kafir, yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah Swt.
“Orang-orang kafir berkata kepada orang-orang mukmin: “Wahai orang-orang mukmin, ikutilah cara hidup kami. Kami akan menanggung segala dosa kalian selama kalian mengikuti kami.” Padahal sebenarnya orang-orang kafir itu tidak sedikit pun sanggup menanggung dosa-dosa mereka sendiri. Sungguh orang-orang kafir itu berdusta.” (Qs. Al-Ankabut, 29:12)
Kepercayaan membabi buta pada sistem demokrasi telah menutup mata dan hati dari kenyataan. Anehnya, betapapun bobroknya sistem demokrasi, dengan segala dosa yang ditimbulkannya, mengapa kaum demokrasi tidak mau menyalahkan sistem demokrasi?
Kejahatan yang dilakukan atas nama demokrasi tetaplah kejahatan, apapun alasannya. Sebaliknya, perbaikan atas nama agama untuk mengatasi problem manusia melalui lembaga negara bukanlah pelanggaran, mengapa harus ditolak? Oleh karena itu, menjauhkan agama dari negara, adalah paradigma usang yang wajib ditinggalkan.
Apabila manusia menjalani kehidupan dunia ini mengikuti petunjuk Allah, maka ia akan selamat dan bahagia. Sebaliknya, jika manusia menjalani kehidupan ini, mengikuti aturan yang bertentangan dengan syari’at Allah, niscaya ia akan terjerumus ke jurang kegelapan sehingga ia dan orang-orang yang bersamanya hidup dalam kegalauan dan penderitaan.
Wallahu a’lam bis shawab.