Inilah fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kepemimpinan. “Haram hukumnya menaati pemimpin yang mengingkari janjinya.”. Lahir dari hasil Ijtima’ Ulama se-Indonesia di Tegal. Dalam Al-Qur’an diperintahkan, “Wahai kaum Mukmin, penuhilah semua janji kalian.” (Q.s. Al-Ma`idah [5]: 1)
Risalah Mujahidin – ALUNAN SUARA tahlil bergema memecah suasana—dan mempersatukan ulama dan cendekiawan Muslim—pada acara penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ke-5 yang berlangsung di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Selasa (9/6/2015). Gelaran Ijtima Ulama yang diprakarsai MUI selama tiga hari, 7-10 Juni lalu itu akhirnya ditutup Wakil Ketua MUI Dr. K.H. Ma’ruf Amin dengan menghasilkan beberapa Fatwa. Plus gelaran wayang santri yang didalangi oleh Bupati Tegal Ki Enthus Susmono.
Tampak hadir sejumlah perutusan MUI dari daerah-daerah dan MUI Pusat, termasuk tokoh LDII dari Lampung, yang berbaur dengan peserta lainnya. Acara yang dihadiri tidak kurang dari 230 orang itu dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan dihadiri pula menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin “yang distigmakan” sebagai menteri konroversial.
Perhelatan sekumpulan para ulama dari berbagai latar aliran pemikiran mazhab dan organisasi keagamaan itu telah menghasilkan sejumlah fatwa dan keputusan. Komisi A menghasilkan sejumlah keputusan tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah (Masalah Strategis kebangsaan, meliputi: Kedudukan Pemimpin yang tidak menepati janji, kemudian soal kriteria pengkafiran (Dhabit At-Takfir), radikalisme agama dan penanggulangannya, pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan umat dan bangsa, serta penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional.
Kemudian Komisi B menghasilkan sejumlah keputusan-keputusan yang bertautan dengan Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer). Komisi B terbagi dua (Komisi B1 dan Komisi B2). Keputusan-keputusan Komisi B1 meliputi masalah: Haji berulang, hukum membangun masjid berdekatan, imunisasi, hak pengasuhan anak bagi orang tua yang bercerai karena berbeda agama. Sedangkan Komisi B2 memutuskan hal-hal terkait panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan, Status hukum iuran dan manfaat pensiun hubungannya dengan Tirkah, dan Istihalah.
Komisi C memutuskan Masail Qanuniyah (Masalah hukum dan perundang-undangan), meliputi: pornografi dan prostitusi online, eksekusi hukuman mati bagi terpidana narkoba, pajak jangan membebani rakyat, pembentukan komite nasional ekonomi syariah, rekrutmen pimpinan KPK periode 2015-2019, pentingnya dasar hukum pemakaian jilbab bagi prajurit Korps Wanita TNI, dan tak kalah menariknya juga pengawasan penggunaan dana desa.
Jangan Ingkari Janji
Yang cukup menyita banyak perhatian khalayak adalah keputusan atau fatwa tentang perlu tidaknya menaati pemimpin yang ingkar janji. Sebagaimana dikemukakan Ketua Tim Perumus Komisi A Muh. Zaitun Rahmin, “MUI meminta agar para calon pemimpin baik dari legislatif, yudikatif maupun eksekutif untuk tidak mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.”
Seorang pemimpin, katanya, juga akan mendapatkan kewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye dia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariat dan mengandung unsur kemaslahatan. Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram. Calon pemimpin, lanjut dia, dilarang berjanji menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Apabila dia menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariat maka calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI kemudian mengimbau kepada seluruh umat untuk tidak memilih (lagi) pemimpin yang terbukti ingkar janji, terutama jika yang bersangkutan kembali mencalonkan diri pada pemilihan umum periode selanjutnya.
Fatwa yang meraih kesepakatan mayoritas ulama MUI juga menyoroti masalah suap di saat kampanye. Diputuskan, calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam kategori “risywah” atau suap. Wakil Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menegaskan fatwa tersebut merupakan salah satu poin dari pembahasan dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tingkat nasional V di Tegal pada 7-10 Juni 2015. Dan seluruh fatwa yang telah menjadi kesepakatan para ulama akan dipublikasikan kepada masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan termasuk unsur eksekutif, yudikatif, dan legislatif lewat sejumlah kegiatan.
Haram Memilih Pemimpin Ingkar
Jauh hari sebelumnya, pada diskusi Publik Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia ke-5 di Kantor MUI Pusat di Jakarta, Wakil Ketua Umum MUI Dr. Ma’ruf Amin memang telah menegaskan, calon pemimpin tidak boleh berjanji untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Jika pemimpin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama, maka haram kepada umat Islam untuk taat kepada pemimpin tersebut,” kata Kiai Ma’ruf Amin, selaku pembicara dalam Diskusi Publik Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se Indonesia Ke-5, Kamis (04/06).
Kiai Ma’ruf Amin yang dikenal piawai dalam memberikan kontribusi pemikiran dan kreatif berpemikiran itu lantas mencontohkan tentang tindakan pemimpin yang bertentangan dengan agama. Sebutlah misalnya pemimpin yang melegalkan minuman keras, perjudian dan perzinaan atau prostitusi, katanya seperti menyindir Ahok yang belakangan suka mengeluarkan kata-kata dan kebijakan dengan mengaduk-aduk warga Jakarta. Dalam acara bertajuk “Janji Pemimpin dalam Perspektif Fikih dan Konstitusi” itu Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Allah.
Demikian pula dalam hal menyoal ketaatan kepada pemimpin yang tidak menepati janji, menurut Ketua Penyelenggara Ijtima Ulama se-Indonesia ke-V, Zainut Tauhid Sa’adi, “Siapa pun yang ketika dia melakukan kontrak politik dengan rakyat dia harus menepati janji-janji itu,” katanya. Ini memang penting difatwakan mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini para pemimpin banyak berjanji. Juga penting dikemukakan dalam konteks pemimpin di tingkat nasional maupun daerah.
Terutama sejak masa prakampanye dan pada masa kampanye pemilu atau pilkada. Ternyata—kampanye yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam demokrasi—menjadi ajang untuk mengumbar janji, namun lantas “dilupakan begitu saja” ketika orang-orang yang berkampanye meraih kedudukan dan jabatan itu telah meraih jabatannya. Maka dengan fatwa tersebut MUI meminta agar dapat dijadikan pegangan dan pedoman, sekaligus menjadi peringatan kepada setiap pemimpin, agar menepati janji yang pernah diucapkan. Apalagi jabatan yang diemban para pemimpin itu dijalani di bawah sumpah.
“Jadi MUI memberikan warning kepada seluruh pemimpin di seluruh jajaran dari tingkat nasional sampai tingkat daerah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” Zainut Tauhid menegaskan.
Janji-janji pepesan kosong atau pepesan berisi memang biasa dilontarkan dan bahkan digelontorkan oleh para pihak yang hendak meraih jabatan atau kekuasaan. Sementara itu, hal yang harus disadari, dalam wilayah agama, janji itu adalah suatu pengikat yang memiliki daya ikat “pelengketan” yang pasti dan kuat. Al wa’du dainun. Janji adalah hutang, merupakan kata-kata bijak bertuah dari Nabi yang telah melegenda dan menjadi pegangan umat Islam selama ratusan dan bahkan ribuan tahun itu, kini seakan telah dihempaskan dengan bukti-bukti belakangan ini tentang banyaknya pemimpin yang melanggar dan mengingkari janji. Janji adalah hutang, hutang yang harus dibayar.
Maka, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertanyakan pada mereka yang suka obral janji. Para calon pemimpin sering mengeluarkan janji-janji selama kampanye, tapi setelah menjadi pemimpin janji itu tidak ditepati. Kita juga tidak mengetahui kejelasan status janji ini dan mekanisme formal untuk menagihnya, ” demikian seperti keterangan tertulis MUI yang sengaja dilansir menjelang penghujung bulan lalu.
Pertanyaan pertama, mengenai status hukum janji kampanye yang disampaikan oleh calon pemimpin rakyat. MUI merasa tidak ada kejelasan tentang status janji kampanye tersebut, apakah hanya sebatas rencana atau janji yang harus ditepati. Konsekuensi dari dua hal ini berbeda dalam pandangan Islam.
Kedua, hukum pengingkaran terhadap janji kampanye yang dilakukan oleh pemimpin. Manakala janji itu dianggap hutang, mau tidak mau pemimpin dituntut untuk menepatinya. Hutang tersebut tidak serta merta lunas, bahkan ketika orang yang bersangkutan meninggal. Dan terakhir, MUI mempertanyakan hukum taat pada pemimpin yang tidak menepati janji. Salah satu kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpinnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an, Athii’ullaha wa athii’urrasuul wa ulil amri minkum. Dalam kaitannya dengan pemimpin yang tidak menepati janji, bagaimana hukum ketaatan rakyat terhadap pemimpin seperti itu.
Lebih jauh lagi, bolehkah rakyat menuntut janji itu dan bagaimana mekanismenya. Jika kewajiban akan ketaatan itu tidak lagi melekat, apa yang dilakukan. MUI mempertanyakan, dalam kasus seperti itu bolehkah rakyat melakukan pembangkangan, termasuk menarik mandat kepemimpinan.
Presiden Wajib Penuhi Janji
Sedemikian rupa bahkan setelah keluarnya Fatwa Ulama dan seusai gelaran Ijtima Ulama Komisi Fatwa, bahkan Wakil Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin pada Senen tanggal 15 Juni lalu, dalam diskusi ‘Mewujudkan Janji Pemimpin dalam Perspektif Moral dan Konstitusi,’ di Gedung Nusantara IV, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, menegaskan bahwa janji adalah utang yang harus dibayar.
Demikian juga dengan janji-janji Presiden saat kampanye. Menurut Ma’ruf Amien, Presiden Joko Widodo wajib untuk memenuhi janji-janjinya setelah menjadi Presiden. “Janji itu utang. Janji Presiden juga utang dan wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, dalam perspektif agama tetap saja dosa,” kata Ma’ruf Amin, dalam diskusi di Gedung Nusantara IV, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Kecuali, tambahnya, ada sesuatu hambatan di luar batas kemampuan pemberi janji. “Tapi tidak memenuhi janji karena leha-leha, itu dosa” Ma’ruf Amin menegaskan.
Dengan tangkas Ma’ruf menjelaskan, pentingnya MUI mengeluarkan fatwa tentang janji-janji pemimpin guna meminimalisir rakyat ditipu dengan janji-janji. “Jangan rakyat itu ditipu berkelanjutan. Ini bagaimana rakyat, negara dan bangsa. Kalau dari sisi agama sanksinya tentu dosa,” ujarnya. Demikian juga halnya dengan masyarakat yang memilih pemimpin yang tidak memenuhi janjinya.
“Yang milih juga dosa karena salah pilih. Kalau milihnya ikhlas, tak dosa. Tapi yang milih karena “wanipiro”, berdosalah,” kata Ma’ruf memungkasi fatwanya, eh, katanya seperti dikutip Jpnn, group Jawa Pos. [] (Agus Basri)
———————