Fenomena marginalisasi umat Islam, nampaknya menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemilihan tema Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Buadaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban,” diakui oleh pengurus MUI, berangkat dari kegelisahan atas opini di masyarakat. Bila saat ini umat Islam tidak dapat berperan maksimal atau bahkan termarginalkan dalam sektor politik, ekonomi dan sosial budaya, maka melalui KUII VI ini MUI berharap umat Islam mampu memainkan peran tersebut secara optimal.
Risalah Mujahidin – SERANGKAIAN pertanyaan yang senantiasa mengemuka, bagaimana mengoptimalkan peran umat Islam dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan bangsa? Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang pertanyaan itu akan terjawab apabila umat Islam memahami peran dan tanggung jawabnya kepada agama, bangsa dan negara.
Konggres Umat Islam Indonesia ke-6, yang berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta, 8-11 Februari 2015 M / 18-21 Rabiul Akhir 1436 H, diharapkan sebagai salah satu cara MUI memfasilitasi optimalisasi peran umat Islam tersebut.
Maka MUI pun mengundang para peserta kongres, “yang diikuti sekitar 700 peserta yang terdiri dari MUI Pusat maupun Provinsi, Unsur Ponpes, Perguruan Tinggi Islam dan PTN, Unsur Tokoh Perorangan, LSM, Tokoh Profesional seperti Tokoh Pendidikan, Ekonomi, Agama dan Kesultanan yang ada di Indonesia sekitar 40 orang,” seperti dijelaskan Ketua Panitia Acara DR. Anwar Abbas M.M dalam sambutannya pada acara malam ta’aruf silaturahmi KUII ke-VI di Ruang Borobudur Hotel Inna Garuda Yokyakarta, Ahad 8 Februari 2015.
Lokasi kongres yang berada di jantung kota Yogyakarta, merupakan tempat yang cukup representatif untuk berdiskusi menemukan solusi tentang nasib umat. Menggunakan Hotel bintang empat, Inna Garuda, termasuk hotel legendaris sejak 1908, sekitar lima menit berjalan dari Jalan Malioboro, serta 300 meter dari Stasiun Tugu dan Keraton Yogyakarta.
Ada empat tempat menginap yang disiapkan panitia pelaksana KUII VI, mengingat hotel Inna Garuda hanya mampu menyediakan 222 kamar saja. Yaitu, Hotel Malioboro Inn, Ramayana, dan Abadi, masih di sekitar jalan Malioboro yang terkenal itu.
“Kamar di Inna Garuda tidak mencukupi, jadi kami menggunakan empat tempat tersebut untuk akomodasi undangan KUII kali ini,” ungkap salah seorang panitia registrasi, Fuad kepada reporter Risalah Mujahidin (RM).
Perhelatan lima tahunan ini, tentu membutuhkan biaya besar. Seluruh peserta tidak ditarik biaya, kecuali biaya transportasi ditanggung sendiri. Dalam buku panduan kongres dijelaskan, bahwa sumber dana kegiatan Kongres Umat Islam ke-6 ini, diperoleh dari sumber yang halal dan baik: dari kas MUI, bantuan pemerintah, dan dukungan berbagai pihak.
Menurut Wakil Sekjen MUI sekaligus Sekretaris OC KUII VI, Amirsyam Tambunan, KUII VI menghabiskan dana lebih dari 1,5 miliar. “Untuk sewa hotel menghabiskan dana 1,2 miliar,” ujarnya saat dikonfirmasi RM, Senin 12 Februari 2015.
Kabarnya, panitia juga memperoleh sumbangan dana dari Hery Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group? “Bukan dari Hery Tanoe, tapi dari Perindo,” terang Amirsyah.
Selain dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo), menurut sumber yang dapat dipercaya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga menawarkan bantuan dana lumayan besar, 2 miliar. “Tapi MUI menolak tawaran tersebut, tapi ada pihak lain yang bersedia menerimanya,” ungkap sumber yang tak mau disebut namanya itu.
Bagi perhelatan Islam seperti KUII, sumber dana memang masalah krusial. Tak elok didengar, bila muncul kesan KUII memperoleh dana haram, atau dari sumber yang punya interest mengendalikan arah kongres. Apabila kongres ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan legitimasi sebagai pemimpin umat Islam, karena merasa berjasa mendanai kongres, tentu akan menjatuhkan muruah (kehormatan) kaum muslimin.
Apalagi, seperti dikatakan Ketua Pelaksana KUII VI Anwar Abbas, bahwa KUII VI ini merupakan kelanjutan dari kongres-kongres sebelumnya. Pasca kemerdekaan RI, kata Anwar, umat Islam telah melakukan lima kali kongres. KUII I dilaksanakan pada 1946 di Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan KUII II pada 1949 juga di Yogyakarta. KUII III pada 1998 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, KUII IV di Hotel Sahid Jakarta, dan terakhir adalah KUII V di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Pada Kongres pertama dan kedua, para tokoh Islam betul-betul didorong oleh semangat menegakkan harkat umat Islam dan memobilisasi kekuatan menghadapi lawan. Lalu, apa kontribusi KUII di masa reformasi dalam upaya memperbaiki nasib umat?
“Konggres Umat Islam kali ini memastikan peran umat yang lebih baik. Sejumlah rekomendasi dan isyu telah diinventarisir namun sebagai program strategis, MUI memandang program ekonomi dan sosial adalah program yang seharusnya ditingkatkan,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin dalam Konferensi Pers KUII VI di Hotel Inna Garuda, Malioboro, Jogjakarta, Ahad 8 Februari 2015.
Din Syamsuddin juga mengatakan, pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi Kongres Umat Islam VI tak lepas dari sejarah Kongres II yang dinilai paling monumental.
“Karena pernah menjadi tuan rumah kongres yang monumental pada 1945,” katanya dalam pidato pembukaan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin, 9 Februari 2015.
Kongres pertama berlangsung pada 1938 dan mengukuhkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Majelis itu merupakan lembaga payung bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia kala itu.
Adapun kongres kedua, berlangsung di Yogyakarta pada 1945, menghasilkan putusan yang monumental juga. Peserta kongres memutuskan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai tunggal Islam di Indonesia. Pada pemilihan umum 1955, partai ini merupakan salah satu peraup suara terbesar.
Sepanjang pemerintahan Orde Baru, kongres tak berlangsung. Hingga pasca reformasi, kongres ketiga digelar pada 1998. Adapun kongres keempat berlangsung pada 2005. “Maka kali ini, ke Yogya kita kembali,” katanya di depan peserta kongres. Maka dari Kongres VI di Yogyakarta kali ini, ia berharap, bisa menghasilkan dokumen sejarah baru laiknya kedua kongres paling monumental, pada 1939 dan 1945. “Apa pun namanya,” katanya.
Saat ini, ia melanjutkan, sejumlah usulan nama untuk dokumen itu telah muncul. Dua di antaranya Komitmen Yogyakarta dan Deklarasi Yogyakarta. Yang penting, dokumen baru itu menegaskan bahwa negara Indonesia adalah buah dari jihad umat Islam.
Din Syamsudin mengatakan, Yogyakarta dipilih menjadi tuan rumah karena memiliki nilai-nilai historis. “Ngarso Dalem, izinkan kami dan seluruh elemen umat Islam untuk kembali lagi ke Yogyakarta menggelar Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI,” ujar Din dalam pidato pembukaan yang berlangsung di pagelaran Kraton Yogyakarta.
“Kasultanan Yogyakarta juga salah satu Kasultanan Islam. Ini lah alasan kenapa Yogyakarta dipilih menjadi lokasi kongres keenam umat Islam Indonesia,” pungkasnya.
Sultan Hamengku Buwono X, raja keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, menyambut ucapan Din dan berkata, “Pembukaan kongres di Pagelaran ini memberi makna simbolik ziarah spiritual. Pagelaran, tempat utama pembukaan ini, disangga oleh 64 tiang. “Simbol usia rasulullah,” katanya.
Kongres umat Islam Indonesia ke-6 ini dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres tiba di Keraton Yogyakarta sekitar pukul 09.50 WIB, disambut oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif dan Kanjeng Gusti Hadiwinoto.
Wapres di dampingi Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa tiba di Pangkalan TNI AU Adi Sutjipto, Yogyakarta, sekitar pukul 09.15 WIB. Turut hadir pula Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hidayat Nur Wahid.
Sebelum acara pembukaan di pagelaran Kraton, lebih dahulu diadakan malam ta’aruf. Menurut ketua panitia Anwar Abas, acara malam ta’aruf silaturahmi yang digelar malam Senin, mendahului acara pembukaan kongres dimaksudkan supaya para peserta KUII dapat memahami arah dan tujuan kongres.
Selain itu, lanjutnya supaya kongres berjalan lancar, agar bisa diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang baik dan bermanfaat tidak hanya untuk umat Islam di Indonesia, tetapi seluruh dunia.
Kongres yang diadakan di Hotel berkelas Inna Garuda Yogyakarta itu, memang berlangsung adem ayem, nyaris tanpa gairah. Sangat kontras dengan problema yang dihadapi umat Islam yang kian terpuruk dan terpinggirkan. Kurangnya antusiasme peserta, sangat boleh jadi disebabkan tidak adanya pembahasan masalah-masalah krusial umat.
Dalam pengarahan di malam ta’aruf, Ketua SC dan mantan politisi Senayan, Slamet Efendi Yusuf sudah wanti-wanti. “Kita tidak usah lagi mempertentangkan soal dasar Negara, Pancasila atau segala hal yang akan membawa kita surut ke belakang,” katanya
Selain itu, narasumber banyak yang tidak hadir karena alasan yang kurang jelas, bahkan ada pembicara dadakan yang berbicara tidak relevan dengan tema kongres.
Sekalipun yang diundang ormas tingkat pusat, tapi KUII VI ini sepi dari kehadiran ulama dan tokoh Islam tingkat nasional. Tidak semua peserta undangan memang, hadir dalam kongres yang difasilitasi MUI ini. Sebagian besar peserta yang tercatat berasal dari anggota MUI dan utusan pesantren.
Dari empat parpol yang diidentifikasi parpol Islam yang diundang, seperti PKS, PPP, PKB, PAN, hanya Ketua PKS Anis Matta yang hadir sebagai narasumber. Sayangnya, usai bicara Anis langsung ngeloyor pergi, tidak mengikuti acara kongres. Begitupun ormas Islam yang hadir, belum merepresentasikan seluruh gerakan Islam di Indonesia.
Saat ditanya tentang tidak tertindak lanjutinya hasil-hasil kongres terdahulu terutama ke-III (1998) dan Ke-IV (2005). Mengapa tidak pernah diusulkan, sebagai representasi umat Islam Indonesia, supaya pemerintah membuat UU yang mengharamkan segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, melarang jual beli barang haram. Kenyataannya, dalam praktik kekuasaan, banyak kebijakan pemerintah yang jauh dari ajaran Islam.
Prof. Din Syamsuddin, dalam jumpa pers yang didampingi oleh Ketua SC, Drs. Slamet Effendi Yusuf, M.Si., Dr. H. Zainut Tauhid dan Ketua OC, DR. Anwar Abbas, M.M., M.Ag. yang juga menjabat sebagai Ketua Ganas An-Nar (Gerakan Nasional Anti Narkoba) di bawah MUI Pusat. Din Syamsuddin menyatakan tidak sepakat dengan istilah gagal. “Semua berlangsung baik, hanya tidak bisa menyepakati apa yang telah direncanakan semula,” jelasnya.
“KUII ini bukanlah permusyawaratan tertinggi dari sebuah ormas, misalnya Munas MUI, muktamar NU, muktamar Muhammadiyyah dan muktamar-muktamar lainnya, tapi dia bersifat pertemuan akbar yang difasilitasi MUI. Maka keputusan-keputusannya pun tidak mengikat secara legal, formal dan administrasi. Tapi ini adalah ajang silaturrahmi untuk membicarakan hal-hal yang nantinya menjadi kesepakatan bersama,” tandas Din.
Peran Politik Umat Islam
Keinginan memperkuat peran politik Islam, tentu saja hak konstitusional umat Islam, baik sebagai warga Negara mayoritas maupun berdasarkan hak asasi manusia. Adanya parpol Islam di parlemen, atau menjadi eksekutif, membuktikan hal itu. Masalahnya, apakah parpol Islam telah melaksanakan tugas politiknya selaras dengan misi Islam untuk meninggikan kalimat Allah, menyelenggarakan kekuasaan Negara yang adil dan makmur berdasarkan syari’at Islam?
Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Profesor Bahtiar Effendi mengungkapkan, keberadaan partai-partai politik Islam di Indonesia saat ini tidak lebih hanya sebagai pelengkap.
“Partai-partai Islam yang ada sekarang ini tidak lebih hanya sebagai pelengkap yang tidak memiliki keberanian dan keyakinan,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam sidang pembahasan penguatan politik umat Islam pada acara Kongres Umat Islama Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta, Senin (9/2).
Menurutnya, partai Islam saat ini tidak memiliki keyakinan gagasan untuk memimpin pemerintahan. Buktinya pada Pemilu 2009 dan 2014 partai-partai Islam perolehan suaranya jika digabung cukup memenuhi syarat untuk mengusung calon presiden.
“Tapi itu tidak dilakukan oleh partai-partai Islam Indonesia, mereka tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan kemampuannya,” kata Effendi.
Partai-partai Islam justru ikut mendukung calon yang diusung oleh partai lain, yang berarti hanya menjadi pelengkap bagi partai lain untuk dapat memenuhi syarat mengusung calon presiden.
“Partai Islam tidak berani mengusung calon sendiri, justru mendukung presiden yang diusung oleh partai lain, ini namanya pelengkap,” tegas Effendi.
Partai-partai Islam saat ini tidak mampu merumuskan aspirasi yang diusungnya. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan partai Islam di era tahun 50-an. Saat itu ada partai Masyumi, partai Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam dan lainnya yang semuanya memiliki aspirasi nyata.
“Aspirasi mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara, ini sekadar contoh saja,” jelas Effendi.
Saat itu keberadaan partai bukan hanya sebagai pelengkap, sejak awal didirikan untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mereka usung lebih baik. Aspirasi politik Islam itu lebih baik untuk kepentingan Indonesia pada saat itu sehingga tidak pernah jadi pelengkap.
Profesor Bahtiar Effendi pada sidang pleno KUII VI itu mengingatkan bahwa jumlah umat Islam di Indonesia itu sangat besar, dan akan menjadi kekuatan besar jika memiliki keyakinan dan keberanian, dan bukan menjadi pelengkap saja.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mendorong partai-partai politik berasaskan Islam di Indonesia sejalan dalam memperjuangkan kepentingan agama yang dianut mayoritas penduduk di Tanah Air.
“Partai politik (parpol) Islam sebagai sarana politik kekuasaan kami dorong untuk mau menjalin koalisi dan jika menyangkut kepentingan umat Islam mereka harus satu hati,” kata Din.
Selanjutnya dikatakan, meski beberapa parpol Islam mempunyai visi dan misi yang berbeda, kader yang ada di parlemen maupun lembaga legislatif diharapkan mengaitkan diri dengan nilai Islam saat mengambil kebijakan.
“Kebetulan pada kongres ini pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mau menghadiri, sementara (parpol Islam) yang lain tidak mau, makanya kita dorong itu,” katanya. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini mengatakan, dorongan agar parpol Islam sejalan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam tersebut perlu karena secara politik di lapangan, umat Islam kalah dengan parpol yang memiliki massa maupun dalam mengendalikan kekuasaan.
“Politik lapangan umat Islam kalah, karena kita (umat Islam) tidak menguasai sumber daya politik, (tokoh) yang menguasai massa dan uang. Sebenarnya kita punya massa, tapi ketika ada ‘wani piro’ (berani berapa) massa porak-poranda,” katanya. Din juga menyinggung kurangnya komunikasi intensif antarparpol Islam menjelang pemilihan umum tahun lalu, sehingga belum bisa satu suara dalam menentukan calon kepala negara yang akan memimpin bangsa tersebut.
Oleh sebab itu, kata Din, melalui kongres lima tahunan yang dihadiri para ulama, tokoh Islam, cendekiawan muslim dari berbagai elemen muslim di Tanah Air tersebut diharapkan bisa merancang dan mengendalikan perubahan Indonesia menjadi lebih baik.
“Karena jika melihat ke belakang, tokoh reformasi kita yaitu Amien Rais, Gus Dur (alm Abdurrahman Wahid) yang memprakarsai perubahan, tapi tidak bisa mengendalikan perubahan itu, makanya harus ada antisipasi ke sana,” katanya.
Sementara itu, Presiden PKS Anis Matta mengatakan pencapaian politik partai politik berasaskan Islam pada Pemilihan Presiden 2014 tetap harus diapresiasi, meskipun tidak berada dalam pemerintahan.
“Baru kali ini partai-partai Islam berada dalam oposisi, kecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun bagaimanapun harus ada apresiasi terhadap pencapaian politik tersebut,” katanya saat menjadi narasumber pada kongres yang sama.
Dia mengatakan, absennya sebagian besar parpol Islam dalam pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) merupakan keputusan dan realitas politik yang harus dihadapi bangsa Indonesia. “Melihat realitas politik saat ini, (bagi parpol Islam) memang dapat dikatakan ada kesalahan besar dalam pencapaian politik tahun ini, setidaknya sejak terjadi reformasi,” kata Anis.
Sekadar menghibur diri, Anis pun berucap, umat Islam yang terwadahi dalam parpol Islam mempunyai capaian yang luar biasa, bahkan koalisi yang terbentuk saat Pemilu 2014 mempunyai tujuan yang juga memperjuangkan mayoritas rakyat Indonesia.
Namun Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, berpendapat lain. Ia mengemukakan hal penting yang tak boleh diabaikan umat muslim. Yakni tentang fakta peminggiran substansi ajaran Islam.
“Saat ini jelas sekali terjadi tendensi peminggiran umat Islam, bukan pada peran melainkan dalam substansi,” kata Ismail di sela-sela acara kongres di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta.
“Jika dalam perannya, para pemangku kebijakan di negeri kita memang mayoritas orang Islam, presidennya Islam, ketua MPR orang Islam. Tapi substansi pemerintahannya tidak jelas. Islam yang digadang-gadang sebagai agama terbesar di negeri ini juga konsepnya absurd. Inilah yang kemudian saya katakan ajaran Islam itu yang terpinggirkan,” lanjutnya.
Mengenai sumber daya alam di negeri ini juga, tambah Ismail, seharusnya menguntungkan umat muslim (karena mayoritasnya). Tapi dengan pola kapitalisme hasilnya lebih banyak dinikmati perusahaan terlebih perusahaan asing.
“Umat Islam hanya menjadi objek, lihat tayang tv lebih pada rating bukan pada moral bangsa. Ini menjadi contoh terpinggirkannya substasi peran ajaran Islam,” tegasnya.
Adapun mengenai tema yang dibahas dalam kongres ini, Ismail Yusanto sepakat dengan aspek persoalan yang dimusyawarahkan. “Dari tema ini diasumsikan bahwa umat Islam memang sudah punya peran, hanya perlu penguatan. Saya kira kalau dikatakan belum berperan juga tidak benar, karena umat muslim sendiri dari dulu memang sudah berperan,” lanjutnya.
Ismail berharap, lewat kongres ini para ulama mampu mewujudkan rumusan langkah-langkah kongkret terhadap masalah yang dihadapi umat. Dikatakan demikian, agar kemudian forum strategis ini mempunyai pengaruh nyata. Sebab menurutnya, bangsa ini banyak menghadapi masalah yang tak pernah tuntas. Seperti korupsi, narkoba, pornografi, liberalisme yang berkembang di berbagai bidang kehidupan.
Harapan Umat yang Diabaikan
Mengusung tema “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban”, KUII VI ini menumbuhkan harapan dari seluruh ormas Islam di Indonesia. Mereka berharap, KUII kali ini dapat menjadi tonggak bersejarah dan penggerak utama kekuatan umat Islam Indonesia.
Segala harapan itu muncul di saat malam ta’aruf, yang dihadiri oleh Wakil Ketua Menteri Luar Negeri, A.M Fachir. Dalam sambutannya Fachir mengatakan, Indonesia telah melakukan dialog lintas agama dalam rangka tasamuh dengan 24 negera dunia serta melakukan promosi untuk mencegah Islamophobia.
“Tidak hanya umat Islam di Indonesia yang menunggu hasil KUII ke-VI tetapi juga umat Islam di seluruh dunia,” tegas Fachir.
Selain itu, Wakil Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin dalam sambutannya juga mengatakan peran umat Islam belum optimal dibanding dengan jumlah umat Islam yang ada sampai saat ini.
“Jumlahnya besar tapi perannya kecil,” ujar Ma’ruf Amin
Menurutnya, MUI mencoba paling tidak supaya peran dan jumlah umat Islam bisa seimbang. Maka lanjutnya, perlu diadakan kongres lima tahunan agar terbentuk persamaan-persamaan dalam perbedaan.
“Jika berbeda harus bisa ditoleransi dan tidak boleh menimbulkan fanatisme kelompok yang berlebihan,” ujar Ma’ruf Amin.
Sementara Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin dalam sambutannya di malam ta’aruf mengatakan KUII ke-VI ini merupakan kongres lanjutan dari kongres sebelumnya. Dimana lanjutnya telah membahas isu-isu yang didiskusikan secara bersama sehingga menghasilkan rekomendasi yang disepakati.
“Saya harapkan di sini KUII bisa memberikan acuan atau panduan agar supaya kehidupan bersama bisa tetap terjaga dan terpelihara di tengah tantangan global,” kata Menteri Agama seusai pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin.
Lukman juga berharap agar KUII VI mampu mengokohkan jaminan perlindungan terhadap seluruh umat beragama. Sebab, meskipun Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak, Indonesia adalah negara yang plural dengan beragam agama, suku, serta budaya.
“Sehingga setiap agama juga harus memiliki jaminan perlindungan baik dalam konteks mereka memeluk agama maupun ketika mereka menjalankan amalan agama,” kata dia.
Menurut Lukman, rekomendasi final KUII VI di Yogyakarta sesungguhnya bukan hanya dinanti oleh umat Islam di Indonesia saja, melainkan juga umat Islam di seluruh dunia.
“Saya juga tidak tahu apakah nanti konflik yang terjadi di Timur Tengah menjadi bagian dari rekomendasi atau tidak. Kita lihat saja nanti,” kata Lukman.
“Jika ada rekomendasi yang belum bisa dijalankan melalui KUII ke-VI bisa digunakan sebagai bahan evaluasi,” ujar Lukman.
Menurut Lukman rekomendasi yang sudah disepakati bukan sekadar permintaan dari kepentingan pribadi. Namun hasil dari kesepakatan yang disepakati guna memberikan manfaat bersama bagi agama, nusa dan bangsa.
“Melalui KUII ke-VI harapannya bisa memberikan titik terang soal batasan minimal seseorang dikatakan kafir, seperti halnya Syi’ah maupun Ahmadiyah yang kini masih terus menjadi polemik saat ini,” harap Lukman dalam sambutannya.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag lagi.
Usai menyampaikan sambutan, giliran Sultan Palembang Iskandar Mahmud Badaruddin mengenalkan diri. Tak disangka, Sultan badaruddin langsung mengeritik pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim. Ia menolak ‘Islam Indonesia’ ala Menag.
Menurutnya, sebelum Indonesia berdiri Kesultanan di Nusantara sudah memeluk Islam yang tidak dapat dibedakan antara satu sama lainnya.
“Kalau Bapak Menteri tadi bilang ada Islam ini dan itu, saya tidak sepakat, sebab Islam adalah rohmatan lil alamin dan hanya ada satu,” tegas Sultan dengan berani.
Selain itu, Sultan Palembang yang masih cukup muda dan bergaya nyenterik itu menyatakan bahwa banyaknya krisis yang melanda Indonesia disebabkan produk hukumnya masih menggunakan hukum Belanda yang notabene bertentangan dengan ajaran Islam.
“Ini produk hukum kafir,” tandasnya.
Sebagai Sultan dari Palembang yang memiliki akar keislaman yang kuat, Mahmud Badaruddin berharap agar dalam Kongres Umat Islam Indonesia ini hukum Islam dapat kembali dikuatkan sebagaimana pernah dicontohkan para Sultan Nusantara.
Harapan terhadap KUII ini sedemikian besar, hingga banyak pihak ikut terlibat. Karena terbukti, sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, umat Islam memiliki peran yang strategis. Pada fase-fase penting sejarah Indonesia, umat Islam senantiasa tampil memberikan solusi terhadap beragam persoalan yang di hadapi bangsa Indonesia.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mengemukakan hal itu di hadapan para peserta Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI, Minggu (8/2) malam di Yogyakarta.
“Jadi sejak dulu peran umat Islam demikian besar dalam sejarah bangsa Indonesia,” kata Hidayat.
Karenanya Hidayat berharap, KUII ke-VI ini menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang makin memperkuat peran umat Islam. Bukan hanya untuk umat Islam di Indonesia tetapi juga umat Islam di berbagai belahan dunia.
“Kongres Umat Islam Indonesia keenam ini kita harapkan menghasilkan gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, terutama terkait politik, ekonomi, sosial dan budaya,” harap Hidayat.
Hidayat menilai, tema yang diambil dalam KUII ke-VI ini, yakni penguatan peran politik, ekonomi, dan budaya umat Islam untuk Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban menunjukkan selama ini umat Islam memang sudah dan terus berkontribusi besar untuk Indonesia.
“Hanya saja, kontribusi itu belum sebanding dengan kapasitas umat sebagai mayoritas penduduk Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Hidayat, kebangkitan umat Islam adalah benih kebangkitan Indonesia, baik dari segi ideologi nasionalisme, politik, maupun ekonomi,” jelas dia.
Lebih jauh Hidayat mengemukakan, dunia saat ini sedang menunggu peran umat Islam yang ada di Indonesia. Pasalnya, selain sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Islam di Indonesia juga memiliki ciri yang khas, yaitu moderat atau toleran.
Ciri ini menjadikan umat Islam Indonesia diharapkan perannya yang lebih besar dalam kancah dunia internasional.
Dalam kesempatan itu Hidayat menyinggung soal bangsa Palestina, yang hingga kini belum terbebas dari penjajahan Israel. “Peran umat Islam Indonesia ditunggu untuk dapat membantu rakyat Palestina keluar dari belenggu penjajahan, untuk mewujudkan kemerdekaan bagi bangsa Palestina,” tegas dia.
Umat Islam di seluruh Indonesia perlu meresapi makna perjuangan yang dihasilkan dalam KUII pertama di Yogyakarta pada tahun 1945. Konggres pertama tersebut merupakan tonggak bersatunya umat Islam dengan menghasilkan salah satunya dibentuknya partai Masyumi.
Terselenggaranya kongres umat Islam lintas organisasi, lintas kelompok dan bahkan lintas afiliasi politik menunjukkan, semakin tumbuh kesadaran, bahwa persatuan umat menjadi sebuah tuntutan mutlak dalam menghadapi tantangan-tantangan ke depan. Apabila momentum ini diabaikan, mungkin persatuan masih akan menempuh jalan panjang.
Semangat bersatu untuk berjuang bersama demi bangsa yang merdeka, adil, makmur dan sentosa dalam bingkai syariat Allah Swt. Semangat itulah yang hendaknya menjadi motivasi terciptanya tansiq (aliansi) strategis di kalangan Umat Islam.
Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kita. (Umar bin Khattab)