Risalah Mujahidin – GELARAN Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 dengan meriah akhirnya ditutup oleh Presiden Joko Widodo pada 11 Februari lalu dengan menghasilkan rumusan yang disebut “Risalah Yogyakarta.”
Kongres Umat Islam berhasil merumuskan paradigma baru kekuatan Islam yang dikehendaki untuk menjemput zaman di masa kekinian yang kontekstual. Sebuah upaya unjuk kekuatan model lama yang digejolakkan dengan kata-kata: “Risalah Yogyakarta” .
Kata risalah mengingatkan pada buku “Risalah Sidang BPUPKI – PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945” yang diterbitkan Sekretariat Negara RI, 1995, dan juga Tabloid “Ar-Risalah” yang pernah terbit di Yogyakarta yang kemudian diberangus pemerintahan Presiden Soeharto pada dekade 1980-an.
Pergelaran berupa Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, yang diprakarsai Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, sepanjang 8-11 Februari lalu diikuti tak kurang dari 750-an peserta, 45 di antaranya dari kesultanan se-Nusantara mengundang perhatian banyak pihak. Kongres yang sebelumnya dibuka Wakil Presiden M. Yusuf Kalla yang bersemangat itu dihadiri sejumlah perutusan, tokoh-tokoh Islam, para kiai dan ulama dari pesantren, kaum intelektual, pejabat, pemerhati Islam, dan tentu saja sejumlah ormas seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan ormas lainnya.
Perhelatan besar yang diusung dengan Tema, “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam Untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berkeadaban”, berhasil menelorkan rumusan butir-butir Risalah Yogyakarta, yang memuat 7 seruan yang didahului semacam mukadimah 5 alinea yang semuanya didahului dengan kata “Bahwa”, seperti mengingatkan pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Yang diawali dengan:
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia.
Bahwa sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, umat Islam memiliki tanggung jawab terbesar untuk menjaga, mengawal, membela, mempertahankan, dan mengisi Negara Indonesia berdasar wawasan Islam rahmatan lil ’alamin dan washatiyah dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah, sebagai ciri Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Bahwa penyelenggaraan Negara Proklamasi harus berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ruhnya. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan Negara sekuler dan bukan Negara liberal.
Rumusan mana yang kemudian mengundang Irfan S. Awwas, sebagai anggota Komisi D yang ikut merumuskannya, melakukan interupsi dengan mengatakan, bahwa kalimat ‘berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45’ dalam paragraf pertama Risalah Yogyakarta harusnya ‘berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini penting dikemukakan. Kenapa? Pasalnya, dalam sidang pembahasan rekomendasi sehari sebelumnya, peserta telah menyepakati dasar Ketuhanan yang Maha Esa.
Jika kita mengingkari kesepakatan, maka seperti ungkapan bijak dan bajik. “Selain bencana alam dan penyakit menular, segala problema yang menimpa bangsa Indonesia sebagian besar disebabkan oleh pengkhianatan terhadap konsensus serta kesepakatan bersama.”
Irfan yang lebih dikenal sebagai Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lebih jauh menyatakan, “Kenapa harus Ketuhanan yang Maha Esa? Yang tertera di dalam pasal 29 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, begitu. Demikian pula pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi, kami ingin mengembalikan dasar Negara sesuai konstitusi, tapi pihak SC (steering committee, red) justru melestarikan apa yang salah selama ini.”
Menurut Irfan, Pancasila adalah hasil kompromi dari umat Islam dan kaum nasionalis. Jadi, kata Irfan menegaskan, “Yang dibacakan tadi bukan keputusan Kongres Umat Islam. Tapi itu adalah keputusan SC.”
Ketika ditanya, mengapa bersikukuh mempertahankan kalimat Ketuhanan yang Maha Esa, adakah alasan prinsipilnya? Dengan tegas Irfan S. Awwas mengemukakan, ada dua alasan prinsipil. Pertama, secara konstitusional dasar Negara RI tercantum pada pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa,” bukan berdasarkan pancasila dan UUD ‘45.
Kedua, kalimat Ketuhanan yang Maha Esa itu dipahami oleh tokoh-tokoh Islam zaman kemerdekaan sebagai kalimat tauhid, sebagai pengganti atas pencoretan tujuh kata, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dalam Piagam Jakarta.
Irfan menambahkan, “Kita ingin KUII VI ini mengembalikan dasar Negara yang benar sesuai dengan pasal 29 ayat 1 itu. Sebab pencoretan tujuh kata itu, selama ini dinyatakan sebagai pengorbanan umat Islam atas pengkhianatan kaum nasionalis sekuler”.
Selain Irfan, bereaksi atas klausul yang diperdebatkan itu adalah Bachtiar Nasir. Ia melancarkan protes, karena adanya kata-kata penting dalam Risalah Yogyakarta yang tidak dicantumkan.
Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu, mengatakan ada yang tidak jujur dalam tim editor hasil keputusan Komisi D rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI.
“Seharusnya ada kata-kata Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar NKRI, namun menjadi tidak ada. Ada yang tidak jujur dalam forum ini, tidak bisa diterima dan kami meminta pertanggungjawaban,” protesnya.
Bachtiar mangajukan keberatan terhadap salah satu hasil dari Komisi D rekomendasi. Di mana lanjutnya, akhir dari sidang rapat Komisi D rekomendasi kemarin disebutkan bahwa dalam salah satu poin hasil sidang mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sementara itu, lanjut Bachtiar setelah naskah hasil putusan Komisi D Rekomendasi dibaca dan ditampilkan dalam slide di depan seluruh peserta KUII, kalimat tersebut diubah dengan kalimat NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45.
“Ini suatu penghinaan terhadap intelektual Muslim yang hadir di sini. Teks keputusan hasil musyawarah di pleno yang membahas penguatan peran umat Muslim di bidang ekonomi kemarin telah diubah. Ini yang menulis hasil kongresnya tidak jujur,” tegas Bachtiar.
Benarkah ada penghilangan kalimat penting dalam rekomendasi Risalah Yogyakarta seperti tersebut di atas?
Ustadz Fadlan Garamatan yang membacakan rekomendasi mengaku risalah yang dibacakannya bukan yang disepakati dalam rapat komisi. Dia sendiri menyatakan terkejut, lantaran membaca risalah rekomendasi yang bukan sebenarnya.
“Setahu saya yang benar adalah yang dikasih klip, tapi ini tak ada klipnya. Jadi ada yang menukarnya dengan yang belum direvisi,” ungkapnya penuh sesal usai penutupan Kongres, Rabu (11/2) siang. Jadi, Fadlan membacakan risalah rekomendasi yang belum direvisi?
Irfan S. Awwas menyebut hal ini sebagai penelikungan. Jika dulu, saat pembentukan republik, menurutnya, tokoh-tokoh Islam ditelikung oleh kelompok nasionalis sekuler, sekarang sesama Muslim sendiri saling menelikung.
Tetapi Ketua SC, Slamet Effendy Yusuf saat dikonfirmasi bersikeras menegaskan tak ada yang salah dari rumusan komisi rekomendasi yang dibacakan itu. Menurutnya, unsur Ketuhanan yang Maha Esa sudah tercantum dalam Pancasila dan UUD NKRI 1945, jadi tak perlu secara spesifik harus dicantumkan.
Bagaimana dengan pendapat bahwa NKRI berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, bukan Pancasila, sebab kata Pancasila tak ada dalam UUD 1945? “Lah, 5 butir dari Ketuhanan yang Maha Esa sampai Keadilan Sosial… itu kan maksudnya Pancasila,” kata Slamet kepada RM, Rabu (11/2).
Namun, menurut Irfan, itu persepsi yang salah. Sebuah Konstitusi (UUD) itu bermuatan hukum (peraturan negara). Jadi, bagaimana mungkin kita meyakini sesuatu yang tidak tercantum dalam Konstitusi Negara? Sekarang mau gunakan yang mana, yang tercantum dalam UUD 1945 atau di luar itu?
“Hari ini kita membaca sejarah yang dibuat generasi pendahulu. Hari esok, generasi yang akan datang akan membaca sejarah yang kita tulis hari ini. Jika kita salah menulis sejarah, maka tidak saja akan mempermalukan generasi mendatang, tapi juga menjatuhkan martabat generasi kita sekarang,” kata Irfan.
Inilah yang kemudian disambut tokoh sekelas K.H. Ma’ruf Amien dengan mengatakan bahwa persoalan itu akan diselesaikan dalam rapat oleh Steering Committee seusai kongres. Yakni Steering Committee KUII yang dipimpin oleh Slamet Effendy Yusuf, tokoh dari Golkar yang kini lebih aktif sebagai Ketua MUI Pusat.
“Ini belum final karena tadi muncul kejadian tersebut. Mungkin kita akan membahas dari sisi redaksional saja. Kita diskusikan di forum Steering Committee, yang benar yang mana. Bila ada perubahan apa alasannya, mana dokumennya,” tandas K.H. Ma’ruf Amien.
Memang, membaca sejarah perumusan sila pertama Pancasila, sesungguhnya rumusan Ketuhanan yang Maha Esa itu adalah menjadi kesepakatan bersama, yang pada waktu itu dapat diterima bahkan dengan legowo oleh tokoh pendiri Republik bahkan sekelas Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah), dengan memaknainya sebagai “Tauhid”. Inilah sesungguhnya kata yang coba “dengan dahsyatnya” diyakin-yakinkannya oleh Kasman Singodimedjo dan Mr. Moh. Hasan dari Aceh, dengan disaksikan oleh Moh. Hatta, ke hadapan Ki Bagus Hadikusumo pada lobi tingkat akhir dan krusial menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.
Lebih dari itu enam tahun kemudian, menurut Mr. Muh Yamin, seperti tertulis dalam bukunya “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit Ghalia, Cetakan Pertama, tahun 1951, halaman 99, secara substansial UUD tahun 1945 tak jauh berbeda dengan UUD RIS dan UUD Sementara tahun 1950. “Esensinya tidak banyak berubah, karena rumusan Pancasila di kedua UUD tersebut diambil dari gagasan-gagasan pokok Piagam Jakarta.”
Inilah pula yang kemudian sempat dilontarkan Menteri Agama Mayor Jenderal Alamsjah Ratuperawiranegara (di masa pemerintahan Presiden Soeharto) bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam. Kata-kata penuh makna yang kemudian memunculkan banyak perdebatan tapi kemudian diredam pada awal dekade 1980an. Bahwa pemaknaan dari Ketuhanan yang Maha Esa adalah tauhid. Dan yang memiliki arti makna tauhid itu hanya Islam.
Makanya Ketua MUI Din Syamsuddin, pada acara penutupan itu mengatakan, “Meski terjadi perdebatan, kami yakin hasil yang dirumuskan demi kebaikan umat Islam di Indonesia dan demi masa depan yang lebih baik.” Sebab itu pula menjadi wajar jika dikatakan bahwa rumusan itu merupakan paradigma baru dalam konteks kekinian dalam menjemput zaman di hadapan, mengingat amat berbeda zamannya dibandingkan pada kongres Umat Islam Indonesia yang pertama dan kedua di awal Republik tahun 1945.
Ketua Umum MUI Pusat M. Sirajuddin Syamsuddin pada penutupan Kongres, di hadapan Presiden Joko Widodo, kemudian membacakan seruan hasil Kongres:
“Satu, menyerukan kepada seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk bersatu pada merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis, baik di organisasi dan di lembaga Islam maupun di partai Politik untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban,” dengan lantang Din Syamsuddin membacakan poin pertama Risalah Yogyakarta. “Kedua, Kongres Umat Islam Indonesia menyerukan pemerintah dan kekuatan politik untuk mengembangkan politik yang ber-akhlaqul karimah. Ketiga, mengharap pemerintah untuk berpihak pada masyarakat lapisan bawah dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Empat, menyerukan seluruh umat Islam Indonesia untuk bangkit memberdayakan diri, mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas SDM umat,” Din melanjutkan.
Kelima, meminta pemerintah untuk mewaspadai budaya yang tidak sesuai syariat Islam dan budaya luhur bangsa seperti narkoba, minuman keras, pornografi dan porno aksi, pergaulan bebas dan perdagangan manusia. Keenam, menyatakan keprihatinan umat Islam (boleh dibaca: kekuatan umat Islam) yang mendalam atas bergesernya tata ruang/lanskap kehidupan Indonesia di banyak daerah yang meninggalkan ciri keislaman sebagai akibat derasnya arus liberalisasi budaya dan ekonomi. Dan ketujuh, menyerukan kepada negara-negara di Asia yang memperlakukan umat Islam secara diskriminatif untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Tokoh sekelas M. Jazir yang mewakili MUI Yogya terpanggil meresponsnya dengan menyatakan akan segera membentuk Badan Pekerja di semua tingkatan wilayah baik nasional maupun daerah untuk melaksanakan keputusan kongres. Yang dimaksudkannya adalah Badan Pekerja sebagai representasi dari seluruh kekuatan umat Islam Indonesia, dan merincinya terkait peran umat di bidang sosial politik, ekonomi dan budaya.
Misalnya secara kongkrit bagaimana? “Dari aspek politik adalah bagaimana membangun moral politik supaya dalam pilkada-pilkada yang akan datang di setiap wilayah tidak timbul lagi persoalan-persoalan yang terkait money politics dan sebagainya, terutama kepada internal partai-partai berbasis massa Islam, karena mereka juga bagian dari umat Islam yang ikut dalam kongres ini, ya nanti tentu kita kawal agar tindakan-tindakan politik dalam pilkada-pilkada yang sebentar lagi digelar ini nanti bisa mencerminkan politik yang berakhlak mulia,” kata Kyai Haji M Jazir—yang juga teman baik seiring seperjuangan Irfan S. Awwas, paling tidak di masa lalu. Pilkada serentak dan langsung untuk memilih 276 kepala daerah memang bakal digelar Desember mendatang.
Muara kepada hasil kongres tak sepenuhnya terpenuhi sebagaimana harapan semula yang dilontarkan oleh Din di awal kongres. Din di awal pembukaan menyatakan bahwa kongres sengaja digelar di kota gudeg, “Karena Yogya memiliki nilai historis dan menjadi tuan rumah yang historis tahun 1945. Sebelumnya pada kongres pertama 1938 hingga terbentuknya Majelis Islam A’la Indonesia. Dan kongres kedua pada 1945, beberapa bulan (setelah) proklamasi (Kemerdekaan RI), mengukuhkan partai Islam tunggal Masyumi. Ini nilai historis dari Yogya karena itu ke Yogya kita kembali,” ujar Din. Sebab itulah, KUII yang kedua tahun 1945 juga digelar di Yogyakarta. Ketika itu kongres menghasilkan keputusan yang hebat dan historis hingga saat ini, yaitu lahirnya partai politik Islam pertama. Hasil inilah yang membuat KUII kembali digelar di Yogyakarta.
Din berharap kongres dapat memberikan kemanfaatan bagi umat manusia di Indonesia. Ia ingin hasil kongres seperti tahun 1945, di mana umat Islam berperan mengisi kemerdekaan dengan memajukan bangsa. Sesuai tema kongres penguatan di bidang politik ekonomi dan budaya menjadi bagian penting bangsa ini berubah dan maju. Din mengingatkan bahwa di masa lalu, “Di kongres kedua telah membulatkan tekad puluhan ribu umat Muslim akan berada di shaf pertama dalam pembangunan baru Indonesia dan saat itu juga diresolusi jihad yang diunggah oleh NU (Nahdlatul Ulama). Ini menunjukkan umat Islam memiliki komitmen besar memimpin bangsa ini,” katanya.
Makanya Din berharap agar hasil kongres di Yogyakarta, nantinya akan menjadi tonggak baru umat Islam dalam membangun bangsa di tengah permasalahan bangsa saat ini. Maka, “Komitmen Yogyakarta, Deklarasi Yogyakarta apa pun itu namanya yang pada intinya NKRI yang berdasar Pancasila ini hasil dari perjuangan dan jihad umat Islam Indonesia,” katanya.
Namun itulah hasil akhir kongres sebagaimana terumuskan pada tujuh seruan yang ternyata masih jauh dari harapan, sehingga memunculkan protes dari seorang Irfan S. Awwas, tetapi sebaliknya juga respon positif dari seorang M. Jazir –yang sesungguhnya teman-teman seperjuangannya sendiri bahkan sejak 30 tahun yang lalu, yang sudah barang tentu ingat akan makna Risalah, dan kini memunculkan Risalah Yogyakarta. Dari yang semula teman seiring sejalan bisa jadi tak lagi seiring tetapi sejalan. Allah Mahaluas Jangkauan Firman-Nya. Wallahu a’lamu bish shawab. [] (Agus Basri)